NUN
Taufiq Wr. Hidayat
Ada pengalaman personal yang tak mudah diutuhkan lagi. Tatkala pengalaman personal itu diamati kembali, melalui rekaman, gambar, ingatan, atau tulisan, ia menjelma realitas hari ini. Menjadi tamsil yang memerlukan tafsir.
Setiap tafsir lahir dari ruang-waktu saat tafsir diuraikan, berdialektika dengan keadaan. Ingatan manusia terhadap realitas selalu tidak sempurna menyusun kembali segenap peristiwa menakjubkan yang lampau atau yang sedang terjadi di luar dan dalam dirinya secara utuh. Ada pergulatan sunyi, ada pergulatan ramai dan gaduh. Keduanya memiliki keutuhannya sendiri. Ketika keduanya diabadikan dalam ingatan, lalu ingatan itu diamati kembali, tepat disitulah proses tafsir terjadi.
Menengok kembali tiap sesuatu, ialah kearifan. Mengaktualkan kembali landasan berpikir yang dianggap baku guna menemukan fungsi dan kesesuaiannya dalam kekinian. Tradisi ini bukan barang baru dalam keilmuan Islam.
Kritik nalar Arab Islam pernah dilakukan al-Jabiri; membongkar lalu menyusun ulang landasan berpikir dengan menengok sejarah. Ada pembatasan kekuatan dan otoritas sejarah, mengembalikan alur dan segala kemungkinannya; menyusun lagi struktur dan keterkaitan antar unsurnya. Bagian-bagian dari tradisi dan pola berpikir itu menampilkan dinamika progresif untuk mengolah dan berdialog dengan kekinian. Untuk keperluan itu, al-Jabiri meletakkan epistemologinya: bayan, burhan, irfan.
Bayani sebagai metode berpikir yang berdasar pada otoritas teks (nash) dalam kerangka logika bahasa yang didalami dari inferensi (istidlal). Rasionalitas, dalam hal ini, bertumpu pada teks. Hasil-hasilnya diolah di ranah Burhani; segala postulat agama dapat dikonfirmasi sejauh ia bersesuaian dengan rasio. Lalu, logika menyampaikan penilaian atas pengalaman inderawi (tashawwur wal tashdiq).
Sebenarnya tradisi keilmuan tersebut telah dilakukan sesudah masa kerasulan, mulai tampak pada masa pencapaian khalifah al-Ma'mun, didukung al-Kindi dan banyak pemikir dalam tradisi keilmuan Islam selanjutnya.
Kemudian Irfan, yakni gnostik; pengetahuan intuitif yang lazim dalam Tasawuf. Misalnya, Ibnu Arabi memisahkan ranah analisis dan pengamalan Tasawuf. Ia masuki wilayah kondisional (al-mawajidu) dan jarak suatu keadaan (mayadinul ahwal). Kedua hal itu diolah dalam perpaduan ilmu dan intuisi (al-'alamu al-dzauqi) yang dilandasi pengalaman inderawi atau kesaksian (al-musyahadah).
Semua proses itu, tak lain, ialah upaya menemukan tafsir aktual dan lokalistik dari teks suci. Dalam keilmuan Islam, teks suci memiliki posisi tertinggi atas segala proses berpikir dan mengambil keputusan. Berbeda metode berpikir Barat, teks suci tak memiliki posisi vital dalam kerangka berpikirnya. Dan keduanya hanya berbeda pijakan awalnya saja. Toh akhirnya akan sama-sama bermuara pada samudera.
Di sini jelaslah, wahyu adalah sesuatu yang sangat rumit dan "berat" (qaulan tsaqila). Sehingga pesan teks suci tak bisa diklaim oleh satu pendapat tafsir yang mutlak atasnya.
Teks suci punya dua bentuk yang lazim disebut "qath'i" (pasti) dan "dzanni" (ambigu). Teks "dzanni" tak dapat di-"qhat'i"-kan, ia tak bermakna tunggal, ia membuka peluang pada keberagaman tafsir yang bisa sangat lokalistik bahkan individual.
Wahyu adalah pengalaman personal yang menggetarkan. Ia hanya dapat dirasakan sang penerima wahyu yang terkesima-takjub untuk menyampaikannya. Dia dijuluki "rasul", berarti "utusan yang menyampaikan".
Tatkala wahyu diungkapkan, ia memerlukan bahasa. Tapi, bahasa tak dapat seutuhnya mewakili maksud sejati dari wahyu selain sang pemberi dan sang penerima wahyu.
Huruf "nun" (dan juga huruf-huruf misterius lainnya dalam Qur'an) menunjukkan ketakterjangkauan bahasa itu, terhadap pengalaman wahyu yang dirasakan sang penerima. Simbolisasi huruf-huruf: "nun", "tha-ha", "alif-lam-mim", dll. dalam Qur'an, lazim diterjemah apa adanya, atau "hanya Allah yang tahu maksudnya".
Kata adalah kata itu sendiri (atau simbol) ketika ia tak kuasa menyampaikan (dibebani) sesuatu yang tak terjangkau olehnya.
Wahyu harus disampaikan sang penerima, walau tak pernah seutuhnya sampai. Seperti cinta. Bagaimana menjelaskan cinta? Kita tahu kalau merasakannya, dan rasa itu tak tertampung bahasa. Tapi, ia harus tersampaikan. Abdul Qadir al-Jilani menulis kitabnya yang masyhur "Sirrul Asrar" (Rahasianya Rahasia). Bagaimana mungkin rahasia bernama rahasia jika ia telah dibocorkan? Artinya, apa yang tersampaikan tiada memastikan mutlak apa yang dirasakan.
Maka, Tuhan bersabda: "Nun, demi pena, dan apa yang mereka tuliskan" (QS.68:1). Sebentuk tradisi keilmuan dan tekstual yang diperkenankan-Nya. Tetapi, kebenaran darinya tak dapat diklaim dengan satu tafsir belaka. "Nun" ialah simbol ketakterjangkauan bahasa. "Sesungguhnya Tuhanmu, hanya Dia yang paling tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan hanya Dia yang paling tahu orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS.68:7).
*
Barangkali seseorang perlu menengok kembali segala peristiwa dan sudut pandang. Tak harus menelan realitas seperti pil sakit kepala tanpa proses berpikir dan kejernihan jiwa
*
0 Komentar