Oleh: SiPar.
Sejenak saya ingin mengajak segenap civitas akademika Daras Filsafat dan tentunya diri saya sendiri yang semoga tetap dipenuhi semangat juang dalam menuntut ilmu untuk berkenalan dengan tokoh pertanian asal Jepang. Ia adalah Masanobu Fukuoka, bapak natural farming Jepang. Masanobu Fukuoka atau kita sebut saja mbah MaFu adalah seorang mantan peneliti pertanian yang memiliki keahlian khusus dibidang patologi tanaman (tiang-tiyang ingkang nggadah keahlian utawi nyinaoni penyakit utawi wabah tanduran / orang-orang yang memiliki keahlian atau orang yang mempelajari penyakit atau wabah pada tanaman).
Mbah MaFud dulunya bekerja di Kantor Pabean di wilayah Distrik Yokohama pada bagian Inspeksi tumbuhan (tiang-tiang engkang mriksani produk-produk pertanian impor utawi ekspor sadurunge medal utawi mlebet negarane piyambake, supados mboten mbeto penyakit utawa hama). Pada usia 20an Mbah MaFu sama sebagaimana pemuda pada umumnya yang memiliki tekad kuat dan menjunjung tinggi idealismenya. Namun pada usia ini pula ia mengalami perang batin yang amat dalam.
Perang batin yang dialami mbah MaFu ini bermula saat ia mengosongkan pikirannya dan terbersit sebuah kata-kata yang kurang lebih seperti ini “ Manusia sama sekali tidak mengetahui apa-apa”, hal inilah yang menjadi pemicu kegelisahan Mbah MaFu selama beberapa hari. Perasaan ini juga muncul ketika mbah MaFu mengamati berbagai penyakit tanaman pada lensa mikroskop yang sempit.
Mbah MaFu merasa selama ini tempat ia bekerja adalah tempat yang amat ideal bagi peneliti dan orang-orang yang gandrung akan penemuan. Lokasi yang berhadapan dengan Pelabuhan dan disisi lain adalah pegunungan indah tentu hal ini membuat Mbah MaFu tidak merasakan bahwa ia sedang meneliti sesuatu, hari-hari ia jalani seperti yang ia rencanakan. Tapi pada suatu titik ia merasa bahwa pengetahuan yang ia miliki amat sempit.
Sampai tiba suatu saat keresahan itu muncul lagi, dengan pertimbangan yang matang ia lalu memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan pulang ke kampung halamannya di Pulau Shihoku, Kawasan Jepang Selatan (JapStyle). Laki-laki yang amat eksentrik (tiang engkang berpenampilan lan berpikiran nyeleneh) namun bertekad mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengembangkan sistem pertanian alamiah. Ia menyadari bahwa semua nenek moyangnya selama beribu-ribu tahun lampau tidak mengenal sistem membajak sawah dan lain-lain seperti sekarang.
Teknik membajak sawah sebagaimana pertanian hari ini baru dikenal seiring dengan gempuran modernisasi Barat yang melanda kawasan Jepang pada awal masa Restorasi Meiji, kira-kira pada 1980-an. Pertanian kimiawi menjadi kitab agama baru dalam dunia pertanian yang harus ditaati, kira-kira petani yang tidak taat akan dianggap sebagai kafir dan bid'ah begitu hehe. Meskipun masih ada sebagian petani Jepang yang masih menerapkan budidaya sebagaimana moyang mereka dulu, mungkin hal tersebut masih dapat dilihat pada Zaman Meiji dan Taisho, 1968-1926, hingga Perang Dunia II berakhir.
Pertanian Jepang pada akhirnya tidak jauh beda dengan saudara mudanya, yakni Indonesia. Corak pertanian yang sulit berkelit dari tangan-tangan modal tentu dengan berbagai jargon modernisasi pertanian akan meningkatkan produksi, efisiensi produksi, meningkatkan swasembada pangan. Hal ini tentu tak jauh juga dari upaya politik yang mencengkram negara-negara Asia seperti Indonesia dan Jepang.
Di Indonesia sendiri sudah menjadi rahasia umum jika lembaga yang mengaku menjadi tameng keamanan pangan dunia sebut saja inisialnya FAO, selalu mencengkram dan membuat kerdil Indonesia melalui International Rice Research Institute yang berada di Filipina.
Slogan-slogan tantangan ketahanan pangan yang harus dihadapi dan diatasi dengan bergandengan tangan melalui kerjasama lintas sektor antar negara yang sayangnya hal ini hanya bualan semata. Penyelesaian atas masalah pangan hanya dijadikan alat politik dan kepentingan negara adidaya. Penandatangan kontrak bagi hampir setiap negara untuk salah satunya adalah menyerahkan plasma nutfah (sumber genetik yang memiliki corak khas pembentuk varietas unggul) demi rekayasa genetika yang bertujuan pada “penyempurnaan” benih atau tanaman.
Kelak benih-benih yang hari ini disebut hybrida (hasil perkawinan 2 induk tanaman engkang unggul) dipasarkan, beserta pupuk, obat-obatan sehingga menyebabkan tanaman-tanaman lokal punah akibat tidak ada lagi yang membudidayakannya.
Hilangnya sumber plasma nutfah inilah yang pada hari ini dirasakan di berbagai negara, yang salah satu akibatnya adalah tingginya populasi hama dan organisme pengganggu mengalami ledakan populasi. Tanah menjadi keras dan mati. Pertanian kimiawi menang dalam medan laga dan menggusur habis-habisan pertanian alami.
Pada hari ini kita dapat melihat betapa modernisasi pertanian telah mengobral janji dan iming-iming bibit unggul, masa panen yang amat singkat besok tanam lusa panen misalnya, serta hasil yang berlipat ganda membuat petani kalap.
Ritual bertani yang diwariskan para moyang untuk memuliakan alam digeser dengan nilai-nilai keserakahan dan tangan-tangan pemodal yang usil. Kapitalisme perlahan-lahan mencabut akar-akar kearifan petani atas lahannya sendiri, rasa welas asih kepada alam, merawat ibu bumi, meneladani kasihnya, dan semua keselarasan yang telah terbentuk dirusak oleh kepentingan modal secara singkat.
Sudah barang tentu dengan semangat berapi-api dan taklid buta, negara seperti Indonesia memeluk dengan suka cita Kebijakan Pertanian Modern pro Barat bernama Revolusi Hijau yang bukan hanya menghapus identitas pertanian Indonesia namun juga menjadi sel Kanker yang saat ini kita rasakan bersama. Sungguh tidak berdaulatnya negara yang berjuluk negeri agraris ini dalam mengurusi kebutuhan akan pangan warga negaranya.
Secara tidak kita sadari, para kapitalis barat mengikis kearifan lokal berbalut modernisasi pertanian, Petani menjadi ‘buruh tani’ di tanahnya sendiri, menjadi marjinal di tanah kelahirannya sendiri. Petani secara tidak langsung dipaksa menyandang gelar buruh nyemprot, buruh menabur pupuk kimia pabrik, serta buruh menanam benih-benih hibrida dan transgenik yang maha ajaib yang setiap periodenya diproduksi laboratorium Perguruan Tinggi.
Mereka yang acap kali berkelindan dan seranjang dengan perusahaan asing ngangkang kebijakan pertanian negara berkembang. Benih-benih kapitalisme ditanamkan pelan ke dalam bumi pertiwi dan otak-otak para pemangku kebijakan, dan petani menjadi lahan paling empuk untuk dihisap sekaligus menjadi inang bagi benalu yang amat menggurita. Miris
Hari ini kita hampir tak dapat melihat padi-padi warisan moyang dulu, jagung-jagung pulen yang biasa diolah menjadi nasi jagung maupun grontol, dan ketan-ketan punel yang nikmat ketika dicampur dengan parutan kelapa. Plasma nutfah warisan moyang kini tinggal cerita, mikroorganisme tanah kini tinggal jasad dan fosilnya saja, insektisida memporak-porandakan keharmonisan ekosistem.
Manusia sudah berhasil menghancurkan alam secara sistematis. “Kita tidak sedang meningkatkan kesuburan atau hasil produksi, namun hanya menunda kegagalan panen dengan menebar pupuk dan obat-obatan bikinan pabrik,” begitu kata Mbah MaFu.
Mungkin pada kondisi seperti itulah yang membuat mbah MaFu mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaannya dan memilih untuk pulang kampung menggarap tanah milik orang tuanya. Tanah yang sudah dalam kondisi rusak dan kondisi ekosistem yang tidak lagi seimbang.
Mbah MaFu percara bahwa manusia harus tunduk pada Sunnatullah atau hukum alam, dan membiarkan hukum alam bekerja menyeimbangkan dirinya sendiri. Mbah MaFu secara radikal mencoba mendobrak sistem yang sudah lama dianggap efisien dan praktis.
Alhasil lahannya kian dikoyak-koyak hama dan berbagai penyakit sehingga rusak parah. Namun sang ayah mengingatkan bahwa “ Kamu tidak bisa merombak teknik pertanian dengan segera, tanaman yang sudah terolah itu tidak gampang beradaptasi.” Mbah MoFu lantas mencari kerja sampingan, ia bekerja sebagai pengawas divisi pertanian ilmiah di Stasiun Pengujian Prefektur Kochi sembari merenungkan secara mendalam hubungan antara pertanian ilmiah dengan pertanian alami, karena anggapan umum menyatakan pertanian kimiawi lebih unggul dibanding pertanian alami. Dari sinilah ia memiliki pertanyaan besar “Dapatkan pertanian alami berdiri sama tegak dengan pertanian modern?”
Cara Pandang Mbah MaFu Terhadap Pertanian
Pertanian bagi Mbah MaFu adalah bentuk usaha untuk mengenal serta memahami rahasia alam. Mbah MaFu berpandangan bahwa sejak zaman dahulu kala, tanaman tumbuh dengan sendirinya sebagai semacam anugerah dewa Okuninushi No Mikoto yang berkeliling sembari memanggul karung berisi aneka benih untuk disebar ke seluruh penjuru dunia. Alam yang tandus mencoba disembuhkan dengan taburan benih dari biji-bijian, serta dirawat oleh akar-akar yang selalu tumbuh sebagaimana kodratnya. Tanpa adanya intervensi makhluk bernama manusia, alam sudah merawat dirinya sendiri dan menunjukkan kebijaksanaannya.
Dari sinilah Mbah MaFu kembali melakukan perenungan. Terbersit Lah ia pada suatu hukum, lantas mulai menyusun pondasi pemikirannya sendiri. Tanaman akan tumbuh dengan sendirinya, dan seharusnya tidak ditumbuhkan. Saat itulah ia mulai sangsi akan ilmu pertanian modern yang lebih menitikberatkan pada soal intensifikasi (usaha untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara mengoptimalkan lahan yang sudah ada), ekstensifikasi (upaya meningkatkan hasil pertanian dengan memperluas lahan pertanian), yang sudah barang tentu orientasinya hanya pada peningkatan hasil produksi, penggunaan pupuk dan segala jenis pestisida kimiawi telah merusak ekosistem dan mengabaikan kondisi kesehatan tanah. Hal inilah yang menyebabkan Revolusi Hijau dalam jangka panjang akan memperburuk kualitas lahan pertanian.
Ia membuat tandingan baru
Mbah MaFu mulai bekerja mengurai batang jerami di atas lahan dimana padi sebelumnya telah ditebarkan. Dari sinilah ia memulai sebuah revolusi, perubahan yang sangat radikal. Ia menamai Revolusi Jerami, bukan Revolusi Hijau.
”Manusia Tidak Tahu Apa-apa, alam akan mengajari”
Dengan tekad membara ia memusnahkan ratusan batang pohon jeruk. Pada musim gugur Mbah MaFu mulai menabur benih padi, semanggi putih dan biji-bijian musim dingin di atas lahan yang sama dan melapisinya dengan lapisan tebal jerami. Walhasil gandum gerst dan gandum hitam serta semanggi tumbuh tegak, sementara biji padi tetap terbengkalai sampai musim dingin. Gandum hitam dan gerst dipanen mulai bulan
Mei dan disebar di lapangan secara merata selama semingguan agar kering. Kemudian dikirim dan ditampi (ditapeni), lalu dimasukkan ke dalam sebuah karung untuk selanjutnya dilakukan proses penyimpanan. Jerami gandum lantas disebar tanpa dipotong-potong, yang dipergunakan sebagai mulsa (penutup). Dan begitulah ia menunggu tumbuhnya padi.
Menganalisis Keunggulan Metode Bertani Mbah MaFu
Apabila dianalisis metode bertani Mbah MaFu memiliki keunggulan, dimana semanggi putih bermanfaat sebagai herbisida alami untuk menangkal gulma (rerumputan liar yang dapat mengganggu tanaman utama), juga sebagai mulsa untuk menahan air dan menjaga kelembaban tanah, kompos organik sekaligus benteng untuk mencegah serangan burung pemakan biji-bijian (manuk emprit misalnya). Namun ketika tanaman sudah dewasa, gulma dibiarkan begitu saja tumbuh bersamaan dengan padi dan sayur-mayur. Sebab alam mengajarkan demikian pula kata Mbah MaFu. Metode ini tentu saja tidak mudah diaplikasikan di setiap wilayah lho lur. Sebab setiap wilayah mempunyai karakteristik tersendiri.
Melalui metode ini panen yang dihasilkan melimpah, begitu juga kondisi tanahnya yang mengalami peningkatan kesuburan secara signifikan dari tahun ke tahun. Dari sinilah ia dikenal sebagai pioner dari metode bertani tanpa olah tanah (tot). Kalau saja gagasan ini diterapkan oleh petani Indonesia Pak Mentan dan Mendag tidak perlu gelut dan adu data soal impar-impor lur.
”Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen, melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia,” Mbah MaFu. Dan dialah sejatinya petani. Petani yang menyerahkan segenap hidupnya pada sunnatullah. Memuliakan alam karena sebetulnya alam sudah menyediakan segalanya.
Sosok Mbah MaFu
Pada masa itu hingga hari ini kita akan mengenang jalan pikiran dari sang legenda pertanian alamiah itu, al fatihah untuk Mbah MaFu.
Beliau adalah sang pelopor pertanian paling sederhana, nyaris tanpa kerja. Begitulah arti pertanian alamiah. Prinsip-prinsip yang seakan-akan menjungkirbalikkan kebiasaan modern saat ini.
Mbah MaFu menuliskan semua pengalamannya dalam buku berjudul ”Revolusi Sebatang Jerami” pada tahun 1975. Hal inilah yang membuat beliau mendapatkan anugerah Magsaysay. Beliau juga mendapatkan penghargaan berjuluk “Penghargaan Dewan Bumi” (Earth Council Award).
Sebuah gunung yang menghadap Teluk Matsuyama dan pada bagian selatan Shikoku, Mbah MaFu sudah lama bercocok tanam gandum, padi, dan biji-bijian. Tentu juga dengan jeruk mandarin Jepang. Tapi ia menjalaninya dengan metode bertani yang aneh. Banyak orang memandang sebelah mata bahkan mencibir metode yang terlihat terbelakang dan bodoh itu. Dan anehnya dengan metode inilah ia memperoleh hasil yang konsisten dan bahkan lebih tinggi dari pada pertanian modern yang sangat bergantung pada bahan kimia. Sungguh jika beliau masih ada kata yang ingin saya ungkapkan kepada beliau, Sampean Asem Tenan!
Sumber:
Fukuoka, M. 2019. Revolusi Sebatang Jerami – Masanobu Fukuoka. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
0 Komentar