BUKAN TULISAN

BUKAN TULISAN


"Niat baik!" bagi Kant, dalam ide deontologisnya menolak etika konsekuensualis yang menegas, segala perbuatan mesti imbalan dan guna. Atau segala hal yang dituntut bermakna. Tuntutan pada kebermaknaan selalu saja merusak aliran kehidupan, dan di situ orang menjadi sangat materi. Melakukan kebaikan lantaran ingin dapat kebaikan, atau demi akibat baik dari kebaikan yang dilakukannya. Etika konsekuensialis mengandaikan, orang membantu orang lain demi belaka balas budi, atau lantaran akan (telah) mendapatkan manfaat dari orang bersangkutan. Bagi Kant, itu merusak kemurnian jiwa. Perbuatan baik sejati ialah perbuatan baik yang "tanpa syarat". Perbuatan baik demi kebaikan itu sendiri, dan karena memang baik. Bukan demi keuntungan praktis, bahkan tidak demi semata-mata kebenaran.

Dalam kitab "Mukaddimah"nya yang masyhur, Ibnu Khaldun mendalilkan teori siklus peradaban sejarah (ashabiyyah). Tatkala kekuasaan dan semua orang "merasa selesai" dalam hidup, segalanya dikerjakan cuma "demi aku". Kepuasan dalam ketidakperdulian. "Kepentingan aku" berkuasa atas akal sehat, memandang "yang lain" obyek "si aku". Itu gejala kerusakan peradaban yang kelak mengalami ketertimbunan atau tenggalam dlaam siklus sejarah.

Ada sejumlah kaum beragama gelisah, agama akan hancur atau dihancurkan musuh. Dikemukakan fakta-fakta. Tapi fakta jadi tak orisinil dan tak obyektif, lantaran fakta-fakta itu disusun atas kecurigaan, kegelisahan dan kekhawatiran subyektif akan kehancuran suatu agama. Dan itu terdengar begitu mirip omong kosong! Jika fakta-fakta dilihat obyektif, ia malah terbukti terbalik dari apa yang ditakutkan tersebut.

Realitas yang dianggap etis itu, disinggung "main-main oleh Rene Magritte dengan lukisannya. Ia melukis sebuah pipa. Ia memberi judul lukisannya "Ini Bukan Pipa". Obyek lazim pada kondisi tak lazim. Pipa yang bukan pipa!

Melalui karya-karyanya yang provokatif, Magritte, setidaknya, menyindir anggapan, pengandaian, kepastian modern. Sejatinya, realitas (mungkin juga perbuatan-perbuatan) yang diandaikan dalam kehendak dan keinginan praktis semata adalah realitas yang bukan realitas: ketakpastian.

Kegelisahan terhadap fakta tak berbanding lurus dengan fakta itu sendiri. Kegelisahan subyektif itu menipu ketika diandaikan pada fakta yang obyektif.
***

Di balik yang tampak tak selalu sebagaimana yang tampak tersebut. Tipuan mata dan tipuan kekuasaan. René François Ghislain Magritte (1898-1967), seorang pelukis surealis Belgia, menggambar pipa rokok. Ia memberi judul lukisannya "Ini Bukan Pipa". Obyek lazim pada kondisi tak lazim. Pipa, tapi yang bukan pipa! Melalui karyanya yang provokatif, Magritte menyindir klaim, anggapan, pengandaian, dan kepastian modern. Sejatinya realitas---barangkali juga perbuatan-perbuatan, yang diandaikan kehendak dan keinginan praktis belaka pada sebidang alat atau media adalah realitas yang bukan realitas: ketakpastian. Kegelisahan terhadap fakta tak berbanding lurus dengan fakta itu sendiri. Kegelisahan subyektif dapat menipu ketika diandaikan pada fakta yang obyektif. Andai kata pipa rokok yang dilukis Magritte pada sebidang media itu secara ajaib dapat berkomunikasi, tak pasti pipa rokok tersebut mau disebut pipa rokok. Siapakah si pemberi sebutan terhadapnya? Manusia! Bagi Magritte, itulah kemapanan yang harus dilawan dengan daya dan gerak yang berbanding terbalik. Perlawanan ditekankan pada bahasa dan wacana. Kira-kira pandangan ini cukup menarik melawan jejalan informasi yang menguasai dan memengaruhi khalayak sampai ke tingkatan bawah sadar dan ruang-ruang privatnya. Tiap saat orang dicekoki perihal betapa gawatnya wabah penyakit, hingga melakukan kewaspadaan yang tak masuk akal. Agaknya pandangan Magritte itu perlu dipertimbangkan, bukan?
Siapa yang gila?

Pada era digital ini, gila bukan sakit jiwa. Melainkan praktik kuasa pada wacana. Bagi Michel Foucault, sebutan “gila” tidak belaka persoalan pengalaman atau perkara medis. Melainkan gila pun terkait norma beserta bentuk diskursus atau olah-wacana tertentu. Maka gila (kegilaan) adalah diciptakan. Sebab pada setiap periode waktu dan perbedaan ruang, pengertian gila tidak sama.
*
Bagi Jorge Luis Borges, dunia hanya ada karena ia dipersepsikan ada. Sastrawan agung Argentina itu mengagumi postulat George Berkeley, bahwa obyek ada sebab dipersepsi pikiran. Dunia materi sejatinya ide-ide manusia, ia tak benar-benar nyata. Idelah yang nyata. Dunia materi tak akan pernah ada di luar kesadaran, ia mewujud tatkala ditangkap oleh persepsi-persepsi. "Esse est percipi," ujar Borges, yang dalam postulat George Berkeley disebut “being is being perceived”.

Dalam cerita Borges, seorang presiden bola Abasto Junior mengatakan pada seorang komentator bola, Ron Ferrabas, bahwa Abasto akan dikalahkan dengan skor 2-1. "Jangan gunakan lagi umpan Musante ke Renovales. Ingat! Imajinasi! Sekali lagi, imajinasi!" ujarnya. Perhelatan sepakbola yang menghebohkan seluruh negeri ternyata cuma tipuan. Tak ada kesebelasan, tak ada skor, tak ada pertandingan. Stadion sudah dimusnahkan. Pertandingan bola hanya dibuat oleh tivi dan radio seperti membuat drama. Semua hanyalah kehebohan palsu dan omong kosong para komentator. Di Buenos Aires sejak 24 Juni 1937, sepakbola hanya drama, dimainkan satu orang di balik bilik, aktor berkostum yang seolah-olah pemain bola yang direkam tivi. Begitu penjelasan presiden Abasto Junior dalam Borges.

Mengikuti cerita pendek Borges tersebut, saya bayangkan betapa kehebohan penggemar bola ternyata cuma diciptakan dengan kebohongan komentator bola radio atau drama omong kosong layar visual. Khalayak tak sadar, dalam kenyataan tak pernah terjadi apa-apa! Tentu ini hanya fiksi Borges yang unik karena komposisi "bersejarah"nya yang mashur itu. Namun hari ini, kita tak sadar sebenarnya beriman pada berita, informasi, ujaran, iklan, atau apa pun yang ditampilkan layar audio-visual. Tapi omong kosong! Sesuatu yang diada-adakan, diolah sedemikian rupa oleh seseorang atau sejumlah orang dengan kepentingan-kepentingan yang bermuara pada pembentukan persepsi publik atas suatu peristiwa atau kondisi tertentu; penggiringan opini, atau kebohongan yang nyaris serupa kenyataan. Di dalam dunia nirkabel, konfirmasi dan penelusuran kebenaran suara dan layar tentu saja vital. Namun tak banyak yang mau mendeteksinya macam detektif.

Kekuasaan dan pragmatisme menjaya lantaran memproduksi kebohongan yang berhasil menipu persepsi orang terhadap realitas obyektif, menyusun realitas yang diandaikan, lalu dikemukakan sebagai bahan bagi pikiran. Celakanya, hukum sering terpengaruh persepsi pada realitas yang dusta. Sesungguhnya tepat di sini, saya pun sudah tertipu.


Muncar, 2022
Keteranga gambar:
"Bukan Pipa"
Karya: Rene Magritte

0 Komentar