Sowan Kiai: Perspektif Kemerdekaan Dari Bilik Pesantren
_
Pesantren adalah subkultur. Demikian kata Gus Dur dulu. Namun, apakah definisi tersebut masih relevan, dengan segala apa yang terjadi saat ini dan transformasi yang demikian hebatnya. Masih banyak masyakat kita yang memiliki pandangan plural tentang pesantren. Pluralitas sudut pandang ini, tentu, hemat saya harus dijaga dan dihargai keberadaannya. Jangan sampai terjadi diskriminasi, represivitas, dan persekusi terhadap sudut pandang orang lain. Bisa jadi, dengan pandangan yang pluralistik tersebut, harmonisasi kehidupan dapat diwujudkan.
Seperti yang diperjuangkan oleh Bisri Effendy, seorang intelektual dan peneliti sosial-kebudayaan asal Jember, yang mempunyai tendensi mengadvokasi masyarakat marginal. Beliau terkenal sebagai sosok yang tidak pernah berhenti menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat marginal, subaltern, dan mustadh’afiin. Ia menegaskan, dalam Kitab Kehidupan: Persilangan Agama, Politik, dan Kebudayaan di Indonesia (2022), bahwa pluralitas kehidupan dalam wilayah sosial-kebudayaan harus tetap dirawat dan dihormati keberadaannya. Justru, dengan melakukan hal tersebut, otentisitas dan keberagaman masyarakat Indonesia akan berjalan dengan penuh harmoni, keterbukaan, dan inklusif.
Kalau boleh memberikan sedikit pandangan tentang pesantren (sekaligus budaya pesantren), saya mendefinisikan pesantren saat ini sebagai kultur yang unik dan memiliki ciri khas yang tidak bisa diabaikan. Segala sesuatu yang terus dilestarikan di dalam dunia pesantren, seperti metode sorogan, lalaran (hafalan), badhongan (ngaji bersama-sama), hingga budaya ro’an (kerja bakti) tidak bisa dicampuradukkan dengan budaya populer yang kita lihat dan hadapi saat ini. Tentu, orisinalitas kebudayaan pesantren lebih sublim, sistemik, dan menarik daripada budaya Barat yang hegemonik. Itu menurut saya. Jika pembaca memiliki sudut pandang yang berbeda, saya akan menghargai pendapat tersebut. Seperti kata Voltaire: “saya tidak sepakat tentang pendapatmu, tapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk berpendapat”.
Sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan—numpang tidur—di pesantren, saya melihat perspektif yang digunakan cenderung eksentrik. Fenomena apapun, jika menggunakan perspektif pesantren, tendensinya akan lebih berbeda. Tentunya, dengan “bungkusan” khas pesantren. Hal ini bisa ditinjau lebih jauh dalam literatur sejarah yang ada—karya santri sendiri maupun karya peneliti asing. Bahkan, wacana-wacana dari kekuasaan tidak selalu diterima begitu saja oleh pesantren. Mereka akan membedah wacana tersebut dan dikaji sesuai dengan kerangka epistemologi yang selama ini digunakan.
Kemarin, pada (14/11/2023), pesantren kami memperingati haul masyayikh yang ke-43. Peringatan haul pendiri sekaligus pengasuh pertama, yakni Almaghfurlah KH. Achyat Mahmud. Namun, biasanya peringatan haul ini juga disebut haul akbar. Sudah semestinya, sebagai santri, kami ikut hormat haul masyayikh Pondok Pesantren Miftachussa’adah, Maron, Genteng, Banyuwangi. Prosesi peringatan haul tidak jauh berbeda dengan haul yang diadakan di pesantren seantero negeri. Jadi, saya tidak perlu menyebutkannya di sini. Setelah acara haul usai, kami bersama-sama sowan ke ndalem pengasuh. Pertama, untuk silaturahim. Kedua, memang menjadi tradisi setiap haul masyayikh. Dan, ketiga, mengharapkan nasihat-nasihat sejuk dari kiai. Setidaknya, terdapat tiga alasan tersebut.
Saat kami sowan kepada Kyai Mujiburrahman (pengasuh utama), setelah menanyakan kabar, beliau mengejutkan kami dengan pertanyaan, “ada yang tahu apa itu merdeka?”. seluruh mutakharijin diam tanpa suara. Hening. Kalau saya mengistilahkannya, langsung “goblok ndadak”. Padahal, terminologi itu pasti diketahui oleh para mutakharijin, sebab mayoritas dari kami adalah mahasiswa. Tapi, seolah-olah buku-buku, wacana pemikiran, dan pengetahuan yang kami pelajari rontok seketika. Beliau terbilang adalah sosok kiai yang kharismatik, luwes, dan periang. Saya, bisa dibilang, hanya “meniru” riang-nya saja. Perihal alim, wara’, hingga keistiqomahan, layaknya bayna as-sama’ wa sumuri sat (antara langit dan sumur sat).
Beliau melanjutkan, bahwa sekarang ini istilah merdeka berjimbun jumlahnya. Semuanya menggunakan istilah merdeka, sampai pada wilayah pendidikan pun demikian; kurikulum Merdeka. Beliau memberikan definisi “merdeka” yang sangat fundamental dan krusial. Sehingga, menarik untuk saya berikan gambaran umum tentang penyampaian kiai saat sowan tadi malam.
Dulu, di era kolonialisme-imperialisme (penjajahan), kemerdekaan berusaha kita raih sebagai bangsa. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Hal ini, menurut beliau, tidak lain adalah juga peran dari para ulama. Secara singkat, beliau langsung meradikalkan istilah tersebut ke dalam wilayah yang paling fundamental, yakni kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu ialah hak segala individu. Tidak ada perbudakan di dalam kehidupan. Itulah kemerdekaan. Sebagai individu, kita tidak memperbudak dan diperbudak oleh diri kita sendiri. Maksud dari “diperbudak oleh diri sendiri” adalah diperbudak oleh hawa nafsu. Jangan sampai kita diperbudak oleh hawa nafsu kita. Atau, istilah yang sering kita dengar “karepe dewe”. Karepe itu adalah hawa, dan awakdewe itu adalah nafsu. Jadi, menuruti hawa nafsu berarti memprioritaskan kepentingan pribadi.
Tidak diperbudak dan memperbudak orang lain juga merupakan definisi kemerdekaan. Jika kita menolak segala bentuk perbudakan, maka kita juga jangan memperbudak dan mau diperbudak oleh orang lain. Semua harus dilihat menggunakan persepktif ilmu, bil ilmi, dan berusaha mengamalkan ilmu kita. Perbudakan adalah tindakan yang dilarang oleh Islam. Sehingga, sebagai muslim, kita harus menegakkan nilai-nilai Islam yang menghormati kemerdekaan orang lain.
Selain itu, beliau juga menegaskan, bahwa kita tidak boleh merampas kemerdekaan orang lain. Karena kita dilahirkan sebagai manusia yang merdeka, maka sudah sepatutnya kita menghargai kemerdekaan kita dan orang lain. “kemerdekaan adalah anugrah”, demikian dawuh beliau. Karena kita harus memuliakan anugrah Tuhan, tentu menghormati kemerdekaan adalah salah satu memuliakan anugrah tersebut.
Jika kita tidak mau kemerdekaan kita dirampas (atau diperbudak), kita jangan merampas kemerdekaan orang lain. Kuncinya di sana. Sesederhana itu. Kendati sederhana, praktiknya masih tunggang-langgang saja. Ya, memang demikian kalau berurusan ilmu dan amal. Kita tidak kekurangan orang alim, tapi kita sangat kekurangan orang yang amil (mengamalkan ilmunya).
Sebenarnya masih banyak dawuh-dawuh yang beliau sampaikan. Namun, karena keterbatasan saya dalam menuliskannya, sehingga tulisan ini harus berhenti sampai di sini. Sebagai penutup, Kyai Mujiburrahman menyampaikan pesan pada saat sambutan perwakilan keluarga, sebagai berikut:
“KH. Achyat Mahmud bisa mendirikan musholla dan pondok sampai seperti ini, bukan karena kealiman beliau. Bukan. Tapi, karena khidmah beliau, ketaatan beliau, kepada guru-guru beliau. Maka, kita harus meneladani uswah beliau dalam sisi ini. Insyaallah, kita akan mendapatkan keberkahan dari khidmah kita kepada guru-guru kita”.
0 Komentar