By: Lazuardi Bahrul Hidayat
Hingga saat ini demokrasi
masih menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan. Pembahasan demokrasi selalu berkutat
pada tataran epistemologis, penalaran pada praktek
demokrasi sangat kurang
mendapat perhatian. Demokrasi selalu dimaknai partisipasi masyarakat secara
aktif dan sukarela dalam proses bernegara. Padahal, pemaknaan demokrasi tidak cukup
sampai disitu. Hidupnya demokrasi tidak hanya dinilai pada tataran partisipasi
masyarakat, tapi juga pada tujuan demokrasi yang jelas. Analogi
sederhana dalam mengurai
praktiknya bahwa semua
orang bisa berjalan tapi tidak semua orang memiliki tujuan. Dalam konsep
bernegara, seluruh elemen mulai dari masyarakat hingga pemerintah harus
memiliki tujuan yang jelas terhadap arah perkembangan negara.
Demokrasi tidak hanya dipahami sebagai kedaulatan rakyat terhadap pemerintahan. Demokrasi harus juga dipahami sebagai proses yang terus memerlukan pengembangan gagasan, akulturasi budaya hingga kesesuaian kondisi geopolitik global. Demokrasi tidak hanya tumbuh tetapi juga lestari jika rakyat memiliki kesamaan pemahaman dan bekerjasama dalam mewujudkan gagasan. Oleh karena itu, demokrasi bukanlah tujuan akhir melainkan pembelajaran menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan yang ideal. Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh multi faktor negara tersebut.
Secara idealis, demokrasi menjadi akses bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam tataran pengelolaan negara. Meskipun tidak mungkin untuk mengakomodir seluruh kepentingan rakyat Indonesia untuk memutuskan kebijakan. Oleh karena itu, dibentuklah perwakilan yang merepresentasikan rakyat Indonesia. Namun, perwakilan rakyat yang kita harapkan menjadi representasi masyarakat yang membawa kepentingan rakyat di kancah konstitusional berubah menjadi kepentingan pribadi atau golongan. Demokrasi yang kita harapkan menjadi wadah atau system yang memfasilitasi kemerdekaan berpendapat berubah menjadi infrastruktur bagi kepentingan elit. Kemudian jika dilihat dari sudur pangan rakyat sipil, demokrasi sebagai proses akan mengalami kemandekan jika warga negara hanya memikirkan kebebasan tanpa mengerti tanggung jawab. Aktivitas demonstrasi yang kita harapkan menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi dapat menghambat jalannya pembangunan. Pemerintah yang harusnya dapat memikirkan program kerja yang lebih esensial harus berkutat pada masalah penolakan kebijakan. Apakah demokrasi menjadi satu satunya system yang tepat untuk Indonesia ? apakah demokrasi selalu berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat ? dapatkah indonesia mengimplementasikan sistem yang lebih dapat mensejahterakan rakyat dibanding demokrasi ?
Hilangnya ruh demokrasi
Banyak tulisan dan tokoh yang menjadi referensi
dalam penafsiran demokrasi
secara epistemologi. Namun esensi dasar yang menjadi
latar belakang hadirnya
demokrasi jarang dibahas, Demokrasi
lahir dari naluriah
alami manusia yakni, berkendak bebas. Kebebasan merupakan
keinginan setiap manusia
dalam berkehidupan. Kebebasan
manusia selalu dinilai negatif. Pasalnya, dalam upaya mencapai kebebasan, seringkali merampas hak individu lain. Dalam konteks bermasyarakat maka perlu adanya barrier kebebasan manusia
namun tetap memberikan akses dalam berkehendak merdeka. Pembatasan kebebasan
individu dalam masyarakat dapat berbentuk aturan,
norma, hukum maupun perundangan-undangan. Dalam hal
ini, individu masih memiliki kehendak bebas tanpa merenggut kemerdekaan
individu yang lain. Dalam bernegara, setiap kebijakan yang akan dibuat menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai landasan utama. Kesejahteraan masyarakat
dapat dipandang pada tataran filosofis dan pragmatis. Kesejahteraan rakyat dipandang dari perspektif filosofis
adalah upaya yang tidak akan pernah berakhir, dalam upaya
tersebut sangat bersinggungan dengan aspek demokrasi rakyat. Upaya demokrasi
akan berakhir jika suatu Negara
juga berakhir. Maka, suatu negara
tidak dapat mengklaim bahwa telah berhasil
menerapkan demokrasi. Karena demokrasi adalah
hal yang dinamis dan selalu
menuntut perubahan. Namun,
jika dipandang dalam perspektif pragmatis maka Negara memiliki
indikator yang terukur
untuk melihat apakah sudah menerapkan demokrasi dengan ideal baik
secara empiris atau secara realita.
Bagaimana
mengukur demokrasi Indonesia sudah berjalan baik atau tidak ? untuk menjawab pertanyaan
tersebut kita perlu mengkaji melalui data, baik data primer maupun data
sekunder. Salah satu data yang dijadikan acuan untuk mengukur demokrasi di
Indonesia adalah Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Indeks Demokrasi Indonesia
yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU), awal Februari 2022,
menunjukkan, skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71. EIU
menyusun skala 0-10 dengan berbagai paramater, skor pada skala yang tinggi
menunjukkan demokrasi suatu negara berjalan dengan baik. Skor ini naik
dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 6,30, yang sekaligus menjadi raihan
terendah Indonesia sejak EIU menyusun indeks ini pada 2006.
Kini, peringkat Indonesia
naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara
yang dikaji. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik.
Namun, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
Gambar 1. Indeks Demokrasi Indonesia |
Berdasarkan data statistik yang menunjukkan kondisi demokrasi, Indonesia mengalami kondisi yang stagnan. Terdapat lima indikator yang diukur oleh EIU untuk menentukan Indeks Demokrasi yakni, aspek keberfungsian pemerintah, aspek kebebasan sipil, aspek partisipasi politik, aspek proses elektoral dan pluralism, dan aspek budaya politik. Jika dikaji lebih lanjut, maka data tersebut terbentuk dari setiap proses wacana politik maupun realisasi kebijakan. Proses elektoral juga harus bisa memastikan tidak hanya dilaksanakan secara prosedural, tetapi juga substansi yang dapat berujung pada peningkatan partisipasi masyarakat.
Kesadaran masyarakat akan hak sipil politik yang dimiliki dan harus diperjuangkan dalam koridor demokrasi dan hukum sangat penting untuk terus diperkuat. Hal itu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki budaya politik Indonesia di samping institusionalisasi politik oleh pemerintah dan partai politik.
Apakah demokrasi hanya bisa dinilai dari kuantitatif ? apakah demokrasi
hanya diukur dalam partisipasi politik ? tentu tidak. Mengkaji dan mengukur kinerja
Negara dalam pelaksaaan partisipasi sangat komplek. Jika dilihat dalam realita,
akan kita temukan suara publik di media sosial yang menolak kebijakan yang
dianggap bermasalah. Kekuatan rakyat tetap terhimpun dengan media social
sebagai alat, maka hal ini juga perlu dilihat secara obyektif. Diabaikannya
aturan main demokrasi dengan berembusnya perpanjangan batas masa jabatan kepala
desa menjadi 9 tahun, monopoli dalam pembangunan, yang mana masyarakat sipil menjadi kelompok yang tidak mendapat haknya dalam
pengambilan keputusan, sedangkan negara dan pemodal menjadi kelompok superior
yang selalu mendominasi sebuah hasil keputusan, penggunaan kekerasan oleh
aparat terhadap warga juga masih terjadi. Pembatasan kebebasan berekspresi
masyarakat sipil, bahkan pelaporan aktivis oleh pejabat negara ke kepolisian
masih dilakukan.
Pada akhirnya, setiap kebijakan selalu menghadirkan pro kontra. Kehadiran pro kontra ini diperlukan untuk berlangsungnya kehidupan demokrasi. Kondisi penolakan terhadapat kebijakan yang akan diputuskan bukanlah sebuah kesalahan. Karena kebijakan tersebut akan berdampak pada kehidupan masyarakat sipil. Penolakan tersebut harusnya difasilitasi baik dalam kajian ruang akademis atau ruang diskusi publik, sehingga kebijakan dan narasi penolakan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Namun, saat ini penolakan kebijakan dilawan dengan kebijakan baru yang membatasi kebebasan berekspresi. UU ITE merupakan salah satu produk yang membatasi kebebasan berekspresi di media social, padahal secara akademis media social perlu dilihat dari sudut pandang hermeneutics of suspicion. Menjadi kesalahan yang fatal, jika pro kontra tidak hadir dalam pelaksanaan keputusan, dan memunculkan kebijakan yang memberangus kebebasan berekspersi. Hal tersebut bermakna bahwa kehidupan bernegara berubah dari demokrasi menjadi otokratis.
Demokrasi dalam puzzle sejarah Indonesia
Dalam
buku ‘Mengenal Lebih Dekat Demokrasi di Indonesia (2012)’ ditulis lengkap
mengenai untaian sejarah demokrasi di Indonesia. Pada buku tersebut dituliskan
bahwa secara konstitusional, system demokrasi di Indonesia diimplementasikan saat Indonesia telah merdeka.
Namun gagasan demokrasi di Indonesia telah ada bahkan sebelum Indonesia
merdeka. Hal tesebut dimulai saat para pemuda Indonesia yang mendapatkan akses
untuk sekolah di luar negeri. Salah satunya adalah Moh. Hatta yang mengenyam
pendidikan di Belanda. Moh. Hatta cukup banyak berdialektika dan menerima gagasan
tentang ide demokrasi
dari berbagai negara. Saat pulang ke tanah air, Moh. Hatta menerima
penolakan saat menyampaikan gagasan tentang
kemerdekaan Indonesia. Kemudian dia beranggapan bahwa dirinya yang memiliki
nilai sebagai akademisi dan tokoh yang berpengaruh tidak bisa menyampaikan
pendapat secara bebas, lalu bagaimana dengan warga proletar yang tidak memiliki
akses. Berangkat dari kejadian tersebut, Moh. Hatta gencar untuk
mendistribusikan gagasan sistem demokrasi di Indonesia. Kebebasan masyarakat
yang dimaksud bukan hanya tentang hak hidup tetapi juga hak untuk bebas
berekspresi salah satunya adalah berpendapat.
Jika
ditinjau secara konstitusional maka sejarah demokrasi di Indonesia mengalami
berbagai perubahan, berikut proses panjang demokrasi di indonesia :
a. Demokrasi parlementer (1945 - 1959)
Pada saat itu pemerintah Indonesia belum mengatur sistem
apa yang akan dianut oleh negara Indonesia. Presiden dan wakil presiden pun
pada saat itu masih mencari sistem apa yang sekiranya cocok untuk dianut dan dijalankan
oleh negara ini. Sistem presidensial pun
dipilih oleh Soekarno-Hatta sebagai
sistem yang akan dijalankan pada masa awal kemerdekaan. Dengan
dijalankannya sistem presidensial, timbul kekhawatiran bahwa akan
adanya absolutisme dari pemerintah. Untuk itu, demi menghindari absolutisme atau kekuatan dari satu pihak, pemerintah Indonesia mengeluarkan
3 maklumat. Salah satunya adalah perubahan dari sistem presidensial menjadi
sistem parlementer.
Percobaan tersebut nyatanya tidak mudah. Keadaan terlalu komplek dan berat, pertentangan intern, kondisi infrastruktur dan suprastruktur, rakyat nyaris tidak punya pengalaman politik yang matang masih harus ditambah usaha bertahan menghadapi Belanda. Indonesia lalu bergumul dengan percobaan system negara, hubungan dialektis yang komplek antara ide demokrasi, kondisi real bahkan kenyataan kembali Belanda yang masih berhasrat untuk menggenggam bekas negeri jajahannya. Demokrasi parlementer terseok-seok dalam menjalankan tugasnya. Bahkan pergantian kabinet tidak sampai 2 tahun. Namun capaian dari system parlementer yang bisa dianggap sebagai capaian yang paling demokratis adalah pemilu tahun 1955. Meski demikian masih banyak problematika yang dihadapi oleh system parlementer. Pada tahun 1959 presiden mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengubah sistem parlemen menjadi demokrasi terpimpin
b. Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965)
Demokrasi
terpimpin adalah sistem pemerintahan, di mana segala kebijakan atau keputusan
yang diambil dan dijalankan berpusat kepada satu orang, yaitu pemimpin
pemerintahan. Demokrasi terpimpin ini dimulai pada tahun 1959 ketika Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ciri yang paling khas dari
konsep demokrasi terpimpin adalah kehadiran peran dan campur tangan presiden
selaku pemimpin tertinggi demokrasi dan revolusi yakni Presiden Sukarno.
Namun pada masa demokrasi terpimpin ini banyak
pertentangan dari orang
kedua, yakni Moh. Hatta. Karena perbedaan pandangan yang tak terdamaikan dengan Sukarno muncul sebagai kritikus yang tajam. Hatta
melontarkan kritik sekaligus tawaran konsepsinya dalam tulisan yang berjudul
“Demokrasi Kita”. Soekarno
dengan berbagai kebijakan
yang dilakukan seperti wacana menjadi presiden seumur hidup, pembubaran
DPR, pembentukan NASAKOM dan
kebijakan lainnya dianggap telah mematikan demokrasi dan bersifat
otoriter. Percobaan terhadap demokrasi parlementer memang tidak berhasil tetapi
bukan berarti demokrasi lenyap di Indonesia. Baik Soekarno maupun Hatta
memiliki pandangan yang sama bahwa bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari
demokrasi.
c.
Demokrasi Pancasila era Orde Baru (1965
- 1998)
Muncul
‘orde baru’ sebagai bentuk pembaharu dari sebutan ‘orde lama’ pada masa
kepemimpinan soekarno. Banyak problema yang menjadi dasar munculnya actor baru
yang kemudian menggambil peran kepemimpinan. Mulai dari tidak selarasnya
Pancasila dan UUD pada pelaksanaan, hingga puncaknya pada Gerakan 30 September PKI
pada tahun 1965 (G30SPKI). Banyak tokoh yang mulai menaruh harap pada order
baru untuk Kembali menjalankan amanat proklamasi sesuai dengan falsafah yang
terkandung pada Pancasila dan UUD 1945. Sekilas harapan dan gagasan yang
diusung oleh orde baru seakan menjadi lentera bagi masa kelam demokrasi
terpimpin. Namun, harapan itu memudar seiring orde baru menjadi penafsir
tunggal atas Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila
hanya suatu pulasan
tipis untuk pertumbuhan suatu demokrasi yang sebenarnya demi kepentingan kelompok
penguasa. Demokrasi parodi di tengah panggung politik, parlemen lumpuh dan
tinggal jadi kumpulan yes man, pemilu bahkan sudah diketahui hasilnya sebelum
dimulai. Rakyat dijauhkan
dari politik, dari proses
berdemokrasi
yang sebenarnya atas nama hal-hal seperti stabilitas, keamanan, dan pertumbuhan
ekonomi. Soeharto sebagai pemimpin orde baru semakin mengokohkan dirinya
sebagai pemimpin tunggal.
d. Demokrasi reformasi
(1998 - sekarang)
Setelah bertahan
cukup lama orde baru akhirnya
kehilangan pesonanya. Penguasa
tak lagi mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat.
Tekanan krisis ekonomi,
bencana, alam dan berbagai gerakan yang terutama
dimotori mahasiswa dan berbagai faktor lain akhirnya berhasil merobohkan
Soeharto. Reformasi menjadi trend banyak pejabat dan tokoh terkenal berlomba-lomba mengaku reformis sebagaimana dulu mereka berlomba-lomba mengaku Pancasilais. Harapan baru berhembus. Kebebasan mulai terbuka
dan demokrasi seolah mulai
kembali mendapatkan nafasnya.
Meski
demikian tidak sulit bagi kita untuk melihat bahwa ternyata buah dari demokrasi
kita hari ini masih penuh lubang. Apalagi
jika yang dibicarakan adalah pemilu. Pemilu kita
nyatanya belum mampu memunculkan orang-orang terbaik dan menempatkannya di
tempat yang tepat. Banyak pejabat hasil pemilu ternyata jatuh dalam kasus
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak bisa dipungkiri salah satu sebab
terbesarnya adalah mahalnya biaya demokrasi.
Implementasi Demokrasi dalam Pemilu
Istilah Pesta demokrasi selalu dilekatkan pada agenda
pemilihan umum. Istilah tersebut terkesan membahagiakan dan membebaskan masyarakat untuk berpendapat melalui
pemilihan suara. Antusiasme didasarkan pada harapan yang
akan dibawa oleh wakil rakyat yang akan dipilih. Karena kemajemukan pandangan maka diharapkan system pemilu proporsional dapat memfasilitasi rakyat
untuk menyuarakan pilihannya
namun tetap dalam koridor konstitusi.
Essensi pemilu adalah partisipasi, yakni interaksi
masyarakat menggunakan wakilnya yang dipilih dari sejumlah faktor, termasuk
acara kerja dan catatan kinerja. Wakil yang akan dipilih diharapkan dapat
menjadi representasi rakyat dalam kancah pemerintahan. Pemilu yang syarat akan demokrasi kini memiliki tafsir kebebasan
yang dianggap telah menyimpang dalam praktiknya. Tujuannya adalah mencegah
pemilu dikooptasi oleh sekelompok oligarki (koalisi) politik. Seperti yang
telah disampaikan oleh penulis, bahwa esensi dari demokrasi adalah kebebasan
yang bertanggung jawab.
Sistem proposional merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam
pemilu yang memungkinkan satu daerah pemilihan untuk memilih beberapa wakil.
Sistem proporsional sendiri memiliki model tertutup dan terbuka. Berikut
perbedaan antara sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup :
Proporsional Terbuka |
|
Kekurangan |
Kelebihan |
Biaya politik cukup
tinggi, korupsi dan kolusi
tersistematis |
Legitimasi kuat calon
pemilih |
Kontestasi politik menjadi liberal |
Menguatkan system perwakilan di DPR |
Caleg minim gagasan, mendasarkan pada
popularitas |
Interaksi antara kandidat dan pemilih lebih
terjangkau |
Proporsional Tertutup |
|
Kekurangan |
Kelebihan |
Mengandalkan oligarki |
Parpol sebagai kekuatan gagasan |
Tidak ada interaksi antar kandidat dan pemilih |
Menguatkan tanggungjawab parpol |
Calon kurang aspiratif |
Mudah menilai kinerja parpol |
|
|
Tabel 1. Perbedaan
Sistem Pemilu Proporsional
Proporsional tertutup merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih hanya memilih partai politik saja. Artinya, kursi yang dimenangkan partai politik nantinya diisi oleh kandidat yang ditentukan partai. Dalam model proporsional tertutup penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut , sedangkan nomor urut ditentukan oleh partai politik. Sebaliknya, proposional terbuka merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih memilih salah satu nama calon. Dalam model proporsional terbuka calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak, yaitu calon yang paling banyak dipilih oleh pemilih.
Muncul pertanyaan, system mana yang lebih ideal jika diterapkan ? sejak pemilu tahun 2004 hingga sekarang telah ditetapkan menggunakan sistem pemilu poporsional terbuka. Meski demikian, bagi penulias kedua system sangat mungkin untuk diterapkan. Hanya saja keduanya masih sangat butuh perbaikan. Jika melihat kondisional, sangat tidak mungkin mengubah system pemilu terbuka menjadi tertutup saat menjelas pemilu.
‘Kebebasan’ dalam konsepsi demokrasi Indonesia dari pikiran Hans Kelsen
Dalam masyarakat, sudah
barang tentu akan terbentuk pemilahanpemilahan ide atau kehendak.
Berbagai pendapat mengenai sebuah persoalan akan muncul secara acak.
Dari titik inilah munculnya pola kepentingan yang berujung pada adanya suara
mayoritas dan suara minoritas, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.
Dalam pandangan Hans Kelsen, suara mayoritas tidak melahirkan dominasi absolut
atau dengan kata lain, adalah kediktatoran mayoritas
atas minoritas. Prinsip mayoritas
dalam masyarakat demokratis, hanya dapat dijalankan jika segenap warga
masyarakat dalam sebuah negara diperbolehkan turut serta dalam pembentukan tatanan
hukum. Inilah yang kemudian melahirkan istilah kompromi.
Bertemunya suara mayoritas dan suara minoritas tentunya
menghasilkan kompromi. Menurut Hans Kelsen, salah satu esensi demokrasi
terletak pada ada tidaknya sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan pendapat
untuk menentukan sebuah tatanan bagi landasan sebuah
negara. Prinsip kompromi adalah penyelesaian sebuah
masalah melalui suatu norma yang tidak seluruhnya sesuai dengan
kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak, tidak juga seluruhnya bertentangan dengan kepentingan-
kepentingan pihak lain.
Negara berdasarkan prinsip demokrasi, menurut Hans Kelsen memerlukan
rakyat yang bersepakat mengenai makna demokrasi, yang paham akan bekerjanya
demokrasi dan kegunaannya bagi kehidupan mereka. Demokrasi yang kuat bersumber
pada kehendak rakyat dan betujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan
bersama. Oleh karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan
kehendak rakyat. Di samping itu, demokrasi berarti tersedianya prinsip
kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat. Dalam demokrasi modern, Hans Kelsen berpendapat bahwa apa yang terjadi
dewasa ini di negara-negara yang mengatasnamakan negara demokrasi, ternyata
tidak sepenuhnya memahami proses keterwakilan ini. Prinsip keterwakilan yang
dipahami oleh Hans Kelsen ternyata berorientasi pada ada tidaknya proses
pertanggungjawabannya terhadap pemilih. Ini artinya, demokrasi dalam konteks
perwakilan mengharuskan adanya pertanggungjawaban yang besar, terutama secara
moral, kepada para pemilihnya, dan bukan pertanggungjawaban terhadap partai
politik yang mengusungnya.
REFERENSI
Rahayu, Y,K. Basyari, I. dan Susilo N. (15 Februari 2022). https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/02/14/peningkatan-skor-indeks-demokrasi-2021- tak-serta-merta-tandai-perbaikan-kualitas-demokrasi-indonesia,
diakses pada 29 Juni 2023
Kherid, M. N. (2021). Evaluasi
Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2019: Sebuah Perspektif Pluralisme Hukum. Rayyana Komunikasindo.
Riana, F, dan Syailendra P. (7 Juni 2020), Tempo,
https://nasional.tempo.co/read/1350712/ peneliti-lipi-
sistem-pemilu-proporsionaltertutup-tidak-haram, diakses pada 30 Juni 2023
Firmansyah, Fikri. (29 Juni 2023) https://jatim.tribunnews.com/2023/06/29/sistem-pemilu-
tidak-berubah-dosen-fisip-unair-ungkap-sisi-gelap-proporsional-terbuka,
diakses pada 30 Juni 2023
0 Komentar