PARADOKS DEMOKRASI ABSOLUT : Tinjauan Terhadap Jalannya Demokrasi Indonesia Melalui Gagasan Hans Kelsen

By: Lazuardi Bahrul Hidayat



     Hingga saat ini demokrasi masih menjadi topik hangat yang selalu diperbincangkan. Pembahasan demokrasi selalu berkutat pada tataran epistemologis, penalaran pada praktek demokrasi sangat kurang mendapat perhatian. Demokrasi selalu dimaknai partisipasi masyarakat secara aktif dan sukarela dalam proses bernegara. Padahal, pemaknaan demokrasi tidak cukup sampai disitu. Hidupnya demokrasi tidak hanya dinilai pada tataran partisipasi masyarakat, tapi juga pada tujuan demokrasi yang jelas. Analogi sederhana dalam mengurai praktiknya bahwa semua orang bisa berjalan tapi tidak semua orang memiliki tujuan. Dalam konsep bernegara, seluruh elemen mulai dari masyarakat hingga pemerintah harus memiliki tujuan yang jelas terhadap arah perkembangan negara.

     Demokrasi tidak hanya dipahami sebagai kedaulatan rakyat terhadap pemerintahan. Demokrasi harus juga dipahami sebagai proses yang terus memerlukan pengembangan gagasan, akulturasi budaya hingga kesesuaian kondisi geopolitik global. Demokrasi tidak hanya tumbuh tetapi juga lestari jika rakyat memiliki kesamaan pemahaman dan bekerjasama dalam mewujudkan gagasan. Oleh karena itu, demokrasi bukanlah tujuan akhir melainkan pembelajaran menuju ke arah perkembangan ketatanegaraan yang ideal. Demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh multi faktor negara tersebut.

    Secara idealis, demokrasi menjadi akses bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam tataran pengelolaan negara. Meskipun tidak mungkin untuk mengakomodir seluruh kepentingan rakyat Indonesia untuk memutuskan kebijakan. Oleh karena itu, dibentuklah perwakilan yang merepresentasikan rakyat Indonesia. Namun, perwakilan rakyat yang kita harapkan menjadi representasi masyarakat yang membawa kepentingan rakyat di kancah konstitusional berubah menjadi kepentingan pribadi atau golongan. Demokrasi yang kita harapkan menjadi wadah atau system yang memfasilitasi kemerdekaan berpendapat berubah menjadi infrastruktur bagi kepentingan elit. Kemudian jika dilihat dari sudur pangan rakyat sipil, demokrasi sebagai proses akan mengalami kemandekan jika warga negara hanya memikirkan kebebasan tanpa mengerti tanggung jawab. Aktivitas demonstrasi yang kita harapkan menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi dapat menghambat jalannya pembangunan. Pemerintah yang harusnya dapat memikirkan program kerja yang lebih esensial harus berkutat pada masalah penolakan kebijakan. Apakah demokrasi menjadi satu satunya system yang tepat untuk Indonesia ? apakah demokrasi selalu berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyat ? dapatkah indonesia mengimplementasikan sistem yang lebih dapat mensejahterakan rakyat dibanding demokrasi ?


Hilangnya ruh demokrasi

      Banyak tulisan dan tokoh yang menjadi referensi dalam penafsiran demokrasi secara epistemologi. Namun esensi dasar yang menjadi latar belakang hadirnya demokrasi jarang dibahas, Demokrasi lahir dari naluriah alami manusia yakni, berkendak bebas. Kebebasan merupakan keinginan setiap manusia dalam berkehidupan. Kebebasan manusia selalu dinilai negatif. Pasalnya, dalam upaya mencapai kebebasan, seringkali merampas hak individu lain. Dalam konteks bermasyarakat maka perlu adanya barrier kebebasan manusia namun tetap memberikan akses dalam berkehendak merdeka. Pembatasan kebebasan individu dalam masyarakat dapat berbentuk aturan, norma, hukum maupun perundangan-undangan. Dalam hal ini, individu masih memiliki kehendak bebas tanpa merenggut kemerdekaan individu yang lain. Dalam bernegara, setiap kebijakan yang akan dibuat menjadikan kesejahteraan masyarakat sebagai landasan utama. Kesejahteraan masyarakat dapat dipandang pada tataran filosofis dan pragmatis. Kesejahteraan rakyat dipandang dari perspektif filosofis adalah upaya yang tidak akan pernah berakhir, dalam upaya tersebut sangat bersinggungan dengan aspek demokrasi rakyat. Upaya demokrasi akan berakhir jika suatu Negara juga berakhir. Maka, suatu negara tidak dapat mengklaim bahwa telah berhasil menerapkan demokrasi. Karena demokrasi adalah hal yang dinamis dan selalu menuntut perubahan. Namun, jika dipandang dalam perspektif pragmatis maka Negara memiliki indikator yang terukur untuk melihat apakah sudah menerapkan demokrasi dengan ideal baik secara empiris atau secara realita.

Bagaimana mengukur demokrasi Indonesia sudah berjalan baik atau tidak ? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu mengkaji melalui data, baik data primer maupun data sekunder. Salah satu data yang dijadikan acuan untuk mengukur demokrasi di Indonesia adalah Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Indeks Demokrasi Indonesia yang diluncurkan The Economist Intelligence Unit (EIU), awal Februari 2022, menunjukkan, skor rata-rata Indonesia pada indeks itu mencapai 6,71. EIU menyusun skala 0-10 dengan berbagai paramater, skor pada skala yang tinggi menunjukkan demokrasi suatu negara berjalan dengan baik. Skor ini naik dibandingkan dengan tahun 2020, yakni 6,30, yang sekaligus menjadi raihan terendah Indonesia sejak EIU menyusun indeks ini pada 2006. Kini, peringkat Indonesia naik dari 64 menjadi 52 dari 167 negara yang dikaji. Indonesia masuk 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik. Namun, Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat).


Gambar 1. Indeks Demokrasi Indonesia

 

      Berdasarkan data statistik yang menunjukkan kondisi demokrasi, Indonesia mengalami kondisi yang stagnan. Terdapat lima indikator yang diukur oleh EIU untuk menentukan Indeks Demokrasi yakni, aspek keberfungsian pemerintah, aspek kebebasan sipil, aspek partisipasi politik, aspek proses elektoral dan pluralism, dan aspek budaya politik. Jika dikaji lebih lanjut, maka data tersebut terbentuk dari setiap proses wacana politik maupun realisasi kebijakan. Proses elektoral juga harus bisa memastikan tidak hanya dilaksanakan secara prosedural, tetapi juga substansi yang dapat berujung pada peningkatan partisipasi masyarakat.


     Kesadaran masyarakat akan hak sipil politik yang dimiliki dan harus diperjuangkan dalam koridor demokrasi dan hukum sangat penting untuk terus diperkuat. Hal itu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki budaya politik Indonesia di samping institusionalisasi politik oleh pemerintah dan partai politik.

     Apakah demokrasi hanya bisa dinilai dari kuantitatif ? apakah demokrasi hanya diukur dalam partisipasi politik ? tentu tidak. Mengkaji dan mengukur kinerja Negara dalam pelaksaaan partisipasi sangat komplek. Jika dilihat dalam realita, akan kita temukan suara publik di media sosial yang menolak kebijakan yang dianggap bermasalah. Kekuatan rakyat tetap terhimpun dengan media social sebagai alat, maka hal ini juga perlu dilihat secara obyektif. Diabaikannya aturan main demokrasi dengan berembusnya perpanjangan batas masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun, monopoli dalam pembangunan, yang mana masyarakat sipil menjadi kelompok yang tidak mendapat haknya dalam pengambilan keputusan, sedangkan negara dan pemodal menjadi kelompok superior yang selalu mendominasi sebuah hasil keputusan, penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap warga juga masih terjadi. Pembatasan kebebasan berekspresi masyarakat sipil, bahkan pelaporan aktivis oleh pejabat negara ke kepolisian masih dilakukan.

     Pada akhirnya, setiap kebijakan selalu menghadirkan pro kontra. Kehadiran pro kontra ini diperlukan untuk berlangsungnya kehidupan demokrasi. Kondisi penolakan terhadapat kebijakan yang akan diputuskan bukanlah sebuah kesalahan. Karena kebijakan tersebut akan berdampak pada kehidupan masyarakat sipil. Penolakan tersebut harusnya difasilitasi baik dalam kajian ruang akademis atau ruang diskusi publik, sehingga kebijakan dan narasi penolakan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Namun, saat ini penolakan kebijakan dilawan dengan kebijakan baru yang membatasi kebebasan berekspresi. UU ITE merupakan salah satu produk yang membatasi kebebasan berekspresi di media social, padahal secara akademis media social perlu dilihat dari sudut pandang hermeneutics of suspicion. Menjadi kesalahan yang fatal, jika pro kontra tidak hadir dalam pelaksanaan keputusan, dan memunculkan kebijakan yang memberangus kebebasan berekspersi. Hal tersebut bermakna bahwa kehidupan bernegara berubah dari demokrasi menjadi otokratis.


Demokrasi dalam puzzle sejarah Indonesia

     Dalam buku ‘Mengenal Lebih Dekat Demokrasi di Indonesia (2012)’ ditulis lengkap mengenai untaian sejarah demokrasi di Indonesia. Pada buku tersebut dituliskan bahwa secara konstitusional, system demokrasi di Indonesia diimplementasikan saat Indonesia telah merdeka. Namun gagasan demokrasi di Indonesia telah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Hal tesebut dimulai saat para pemuda Indonesia yang mendapatkan akses untuk sekolah di luar negeri. Salah satunya adalah Moh. Hatta yang mengenyam pendidikan di Belanda. Moh. Hatta cukup banyak berdialektika dan menerima gagasan tentang ide demokrasi dari berbagai negara. Saat pulang ke tanah air, Moh. Hatta menerima penolakan saat menyampaikan gagasan tentang kemerdekaan Indonesia. Kemudian dia beranggapan bahwa dirinya yang memiliki nilai sebagai akademisi dan tokoh yang berpengaruh tidak bisa menyampaikan pendapat secara bebas, lalu bagaimana dengan warga proletar yang tidak memiliki akses. Berangkat dari kejadian tersebut, Moh. Hatta gencar untuk mendistribusikan gagasan sistem demokrasi di Indonesia. Kebebasan masyarakat yang dimaksud bukan hanya tentang hak hidup tetapi juga hak untuk bebas berekspresi salah satunya adalah berpendapat.

Jika ditinjau secara konstitusional maka sejarah demokrasi di Indonesia mengalami berbagai perubahan, berikut proses panjang demokrasi di indonesia :

 

a.      Demokrasi parlementer (1945 - 1959)

      Pada saat itu pemerintah Indonesia belum mengatur sistem apa yang akan dianut oleh negara Indonesia. Presiden dan wakil presiden pun pada saat itu masih mencari sistem apa yang sekiranya cocok untuk dianut dan dijalankan oleh negara ini. Sistem presidensial pun dipilih oleh Soekarno-Hatta sebagai sistem yang akan dijalankan pada masa awal kemerdekaan. Dengan dijalankannya sistem presidensial, timbul kekhawatiran bahwa akan adanya absolutisme dari pemerintah. Untuk itu, demi menghindari absolutisme atau kekuatan dari satu pihak, pemerintah Indonesia mengeluarkan 3 maklumat. Salah satunya adalah perubahan dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer.

Percobaan tersebut nyatanya tidak mudah. Keadaan terlalu komplek dan berat, pertentangan intern, kondisi infrastruktur dan suprastruktur, rakyat nyaris tidak punya pengalaman politik yang matang masih harus ditambah usaha bertahan menghadapi Belanda. Indonesia lalu bergumul dengan percobaan system negara, hubungan dialektis yang komplek antara ide demokrasi, kondisi real bahkan kenyataan kembali Belanda yang masih berhasrat untuk menggenggam bekas negeri jajahannya. Demokrasi parlementer terseok-seok dalam menjalankan tugasnya. Bahkan pergantian kabinet tidak sampai 2 tahun. Namun capaian dari system parlementer yang bisa dianggap sebagai capaian yang paling demokratis adalah pemilu tahun 1955. Meski demikian masih banyak problematika yang dihadapi oleh system parlementer. Pada tahun 1959 presiden mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengubah sistem parlemen menjadi demokrasi terpimpin

b.      Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965)

     Demokrasi terpimpin adalah sistem pemerintahan, di mana segala kebijakan atau keputusan yang diambil dan dijalankan berpusat kepada satu orang, yaitu pemimpin pemerintahan. Demokrasi terpimpin ini dimulai pada tahun 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ciri yang paling khas dari konsep demokrasi terpimpin adalah kehadiran peran dan campur tangan presiden selaku pemimpin tertinggi demokrasi dan revolusi yakni Presiden Sukarno.

Namun pada masa demokrasi terpimpin ini banyak pertentangan dari orang kedua, yakni Moh. Hatta. Karena perbedaan pandangan yang tak terdamaikan dengan Sukarno muncul sebagai kritikus yang tajam. Hatta melontarkan kritik sekaligus tawaran konsepsinya dalam tulisan yang berjudul “Demokrasi Kita”. Soekarno dengan berbagai kebijakan yang dilakukan seperti wacana menjadi presiden seumur hidup, pembubaran DPR, pembentukan NASAKOM dan kebijakan lainnya dianggap telah mematikan demokrasi dan bersifat otoriter. Percobaan terhadap demokrasi parlementer memang tidak berhasil tetapi bukan berarti demokrasi lenyap di Indonesia. Baik Soekarno maupun Hatta memiliki pandangan yang sama bahwa bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari demokrasi.


c.       Demokrasi Pancasila era Orde Baru (1965 - 1998)

      Muncul ‘orde baru’ sebagai bentuk pembaharu dari sebutan ‘orde lama’ pada masa kepemimpinan soekarno. Banyak problema yang menjadi dasar munculnya actor baru yang kemudian menggambil peran kepemimpinan. Mulai dari tidak selarasnya Pancasila dan UUD pada pelaksanaan, hingga puncaknya pada Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965 (G30SPKI). Banyak tokoh yang mulai menaruh harap pada order baru untuk Kembali menjalankan amanat proklamasi sesuai dengan falsafah yang terkandung pada Pancasila dan UUD 1945. Sekilas harapan dan gagasan yang diusung oleh orde baru seakan menjadi lentera bagi masa kelam demokrasi terpimpin. Namun, harapan itu memudar seiring orde baru menjadi penafsir tunggal atas Pancasila dan UUD 1945.

Demokrasi Pancasila hanya suatu pulasan tipis untuk pertumbuhan suatu demokrasi yang sebenarnya demi kepentingan kelompok penguasa. Demokrasi parodi di tengah panggung politik, parlemen lumpuh dan tinggal jadi kumpulan yes man, pemilu bahkan sudah diketahui hasilnya sebelum dimulai. Rakyat dijauhkan dari politik, dari proses


berdemokrasi yang sebenarnya atas nama hal-hal seperti stabilitas, keamanan, dan pertumbuhan ekonomi. Soeharto sebagai pemimpin orde baru semakin mengokohkan dirinya sebagai pemimpin tunggal.

d.      Demokrasi reformasi (1998 - sekarang)

     Setelah bertahan cukup lama orde baru akhirnya kehilangan pesonanya. Penguasa tak lagi mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat. Tekanan krisis ekonomi, bencana, alam dan berbagai gerakan yang terutama dimotori mahasiswa dan berbagai faktor lain akhirnya berhasil merobohkan Soeharto. Reformasi menjadi trend banyak pejabat dan tokoh terkenal berlomba-lomba mengaku reformis sebagaimana dulu mereka berlomba-lomba mengaku Pancasilais. Harapan baru berhembus. Kebebasan mulai terbuka dan demokrasi seolah mulai kembali mendapatkan nafasnya.

Meski demikian tidak sulit bagi kita untuk melihat bahwa ternyata buah dari demokrasi kita hari ini masih penuh lubang. Apalagi jika yang dibicarakan adalah pemilu. Pemilu kita nyatanya belum mampu memunculkan orang-orang terbaik dan menempatkannya di tempat yang tepat. Banyak pejabat hasil pemilu ternyata jatuh dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tidak bisa dipungkiri salah satu sebab terbesarnya adalah mahalnya biaya demokrasi.

 

Implementasi Demokrasi dalam Pemilu

      Istilah Pesta demokrasi selalu dilekatkan pada agenda pemilihan umum. Istilah tersebut terkesan membahagiakan dan membebaskan masyarakat untuk berpendapat melalui pemilihan suara. Antusiasme didasarkan pada harapan yang akan dibawa oleh wakil rakyat yang akan dipilih. Karena kemajemukan pandangan maka diharapkan system pemilu proporsional dapat memfasilitasi rakyat untuk menyuarakan pilihannya namun tetap dalam koridor konstitusi.

Essensi pemilu adalah partisipasi, yakni interaksi masyarakat menggunakan wakilnya yang dipilih dari sejumlah faktor, termasuk acara kerja dan catatan kinerja. Wakil yang akan dipilih diharapkan dapat menjadi representasi rakyat dalam kancah pemerintahan. Pemilu yang syarat akan demokrasi kini memiliki tafsir kebebasan yang dianggap telah menyimpang dalam praktiknya. Tujuannya adalah mencegah pemilu dikooptasi oleh sekelompok oligarki (koalisi) politik. Seperti yang telah disampaikan oleh penulis, bahwa esensi dari demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab.

Sistem proposional merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam pemilu yang memungkinkan satu daerah pemilihan untuk memilih beberapa wakil. Sistem proporsional sendiri memiliki model tertutup dan terbuka. Berikut perbedaan antara sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup :


Proporsional Terbuka

Kekurangan

Kelebihan

Biaya politik cukup tinggi,

korupsi dan kolusi tersistematis

 

Legitimasi kuat calon pemilih

Kontestasi politik menjadi

liberal

Menguatkan system

perwakilan di DPR

Caleg minim gagasan,

mendasarkan pada popularitas

Interaksi antara kandidat dan

pemilih lebih terjangkau

Proporsional Tertutup

Kekurangan

Kelebihan

Mengandalkan oligarki

Parpol sebagai kekuatan

gagasan

Tidak ada interaksi antar

kandidat dan pemilih

Menguatkan tanggungjawab

parpol

Calon kurang aspiratif

Mudah menilai kinerja parpol

 

 

 

Tabel 1. Perbedaan Sistem Pemilu Proporsional

 

    Proporsional tertutup merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih hanya memilih partai politik saja. Artinya, kursi yang dimenangkan partai politik nantinya diisi oleh kandidat yang ditentukan partai. Dalam model proporsional tertutup penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut , sedangkan nomor urut ditentukan oleh partai politik. Sebaliknya, proposional terbuka merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih memilih salah satu nama calon. Dalam model proporsional terbuka calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak, yaitu calon yang paling banyak dipilih oleh pemilih.


Muncul pertanyaan, system mana yang lebih ideal jika diterapkan ? sejak pemilu tahun 2004 hingga sekarang telah ditetapkan menggunakan sistem pemilu poporsional terbuka. Meski demikian, bagi penulias kedua system sangat mungkin untuk diterapkan. Hanya saja keduanya masih sangat butuh perbaikan. Jika melihat kondisional, sangat tidak mungkin mengubah system pemilu terbuka menjadi tertutup saat menjelas pemilu.

 

‘Kebebasan’ dalam konsepsi demokrasi Indonesia dari pikiran Hans Kelsen

     Dalam masyarakat, sudah barang tentu akan terbentuk pemilahanpemilahan ide atau kehendak. Berbagai pendapat mengenai sebuah persoalan akan muncul secara acak. Dari titik inilah munculnya pola kepentingan yang berujung pada adanya suara mayoritas dan suara minoritas, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Dalam pandangan Hans Kelsen, suara mayoritas tidak melahirkan dominasi absolut atau dengan kata lain, adalah kediktatoran mayoritas atas minoritas. Prinsip mayoritas dalam masyarakat demokratis, hanya dapat dijalankan jika segenap warga masyarakat dalam sebuah negara diperbolehkan turut serta dalam pembentukan tatanan hukum. Inilah yang kemudian melahirkan istilah kompromi.


Bertemunya suara mayoritas dan suara minoritas tentunya menghasilkan kompromi. Menurut Hans Kelsen, salah satu esensi demokrasi terletak pada ada tidaknya sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan pendapat untuk menentukan sebuah tatanan bagi landasan sebuah negara. Prinsip kompromi adalah penyelesaian sebuah masalah melalui suatu norma yang tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak, tidak juga seluruhnya bertentangan dengan kepentingan- kepentingan pihak lain.

Negara berdasarkan prinsip demokrasi, menurut Hans Kelsen memerlukan rakyat yang bersepakat mengenai makna demokrasi, yang paham akan bekerjanya demokrasi dan kegunaannya bagi kehidupan mereka. Demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan betujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat. Di samping itu, demokrasi berarti tersedianya prinsip kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat. Dalam demokrasi modern, Hans Kelsen berpendapat bahwa apa yang terjadi dewasa ini di negara-negara yang mengatasnamakan negara demokrasi, ternyata tidak sepenuhnya memahami proses keterwakilan ini. Prinsip keterwakilan yang dipahami oleh Hans Kelsen ternyata berorientasi pada ada tidaknya proses pertanggungjawabannya terhadap pemilih. Ini artinya, demokrasi dalam konteks perwakilan mengharuskan adanya pertanggungjawaban yang besar, terutama secara moral, kepada para pemilihnya, dan bukan pertanggungjawaban terhadap partai politik yang mengusungnya.

 

 

REFERENSI

Rahayu, Y,K.        Basyari,        I.        dan        Susilo         N.        (15        Februari        2022). https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/02/14/peningkatan-skor-indeks-demokrasi-2021- tak-serta-merta-tandai-perbaikan-kualitas-demokrasi-indonesia, diakses pada 29 Juni 2023

Kherid, M. N. (2021). Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2019: Sebuah Perspektif Pluralisme Hukum. Rayyana Komunikasindo.

Riana, F, dan Syailendra P. (7 Juni 2020), Tempo, https://nasional.tempo.co/read/1350712/ peneliti-lipi- sistem-pemilu-proporsionaltertutup-tidak-haram, diakses pada 30 Juni 2023

Firmansyah, Fikri. (29 Juni 2023) https://jatim.tribunnews.com/2023/06/29/sistem-pemilu- tidak-berubah-dosen-fisip-unair-ungkap-sisi-gelap-proporsional-terbuka, diakses pada 30 Juni 2023

0 Komentar