KELUPAAN MAKNA DALAM DIALEKTIKA FILSAFAT MODERN : KRITIK FILOSOFIS MARTIN HEIDEGGER

 By : Dimas Hani Kusuma


sumber gambar : https://www.celebritywithyou.com/miniature-dolls/421


     Dalam perkembangan filsafat masa modern adalah salah satu zaman yang tidak bisa ditinggalkan. Zaman modern adalah babak baru dalam perkembangan filsafat yang berdampak besar pada kemunculan disiplin ilmu-ilmu pengetahuan baru. Bisa kita pahami dalam dunia pemikiran Thomas Hobbes tentang filsafat yang harus rigorus. Melalui argumentasi bahwa filsafat tidaklah melulu soal religious, dan sebagai salah satu tokoh empirisme, Hobbes berupaya menunjukkan ketepatan filsafat dalam realitas sosial sebagai kuasa manusia untuk mengontrol alam semesta. Akhirnya, Hobbes menuliskan beberapa bidang-bidang dalam filsafat yaitu, Geometri, Fisika, Etika (psikologi), dan Politik.

Filsafat abad modern lahir atas dasar perlawanan terhadap kekuasaan gereja yang sangat otoriter. Orang yang memiliki pendapat menyimpang tentang gereja akan dieksekusi tanpa pengadilan yang jelas. Mereka dilabeli sebagi orang yang sesat dan tidak taat atas ajaran gereja, maka secara sepihak pantas untuk dieksekusi. Senyatanya, agumentasi orang-orang yang dianggap sesat tersebut adalah suatu upaya untuk menciptakan pemahaman baru tentang realitas melalui kesadaran subjektif.

Gereja yang merupakan suatu institusi agama, mengajarkan ketaatkan, cinta-kasih, dan moral, namun, dalam prakteknya justru sangat bersimpangan. Gereja sangat anti terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dianggapnya menyimpang dari doktrin gereja. Atas sikap otoriter itulah kemudian gerakan-gerakan perlawan muncul. Salah satunya yang diinisiasi oleh Martin Luther. Luther menolak kebijakan gereja tentang penghapusan dosa yang diganti dengan sebuah pembayaran (melalui pembelian surat penghapusan dosa). Protes Luther rupanya mendapat simpati dari masyarakat kalangan bawah, sehingga menjadikan sebuah gerakan perlawanan besar terhadap gereja.

Ciri Filsafat Abad Modern

     Gerakan modern adalah suatu perkembangan kesadaran manusia tentang realitas. Bahwa, melalui kesadaran, manusia bisa menempuh hakikat tentang suatu kebenaran. Inilah kemudian dipahami sebagai suatu semangat humanisme. Bahwa hakikat tentang kebenaran tidak hanya ditafsirkan melalui doktrin-doktrin yang telah diajarkan oleh pihak gereja, tetapi, dengan kesadaran akal, manusia juga bisa menempuh hakikat kebenaran.

Secara spesifik, semangat humanisme tersebut ada dalam ciri filsafat modern tentang subjektivitas. Bahwa, manusia sebagai subjek menjadi ukuran dan yang mengkalkulasikan semua tentang alam semesta. Berbagai aliran dalam filsafat modern membuktikan argumentasi ini, baik rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan idealisme.

Rasionalisme sebagai suatu aliran yang menganggap bahwa realitas tentang substansi bisa ditempuh melalui kesadaran (akal)—yang dicetuskan oleh Rene Descartes sebagai pelopor aliran Rasionalisme. Empirisme adalah antitesa dari pandangan Rasionalisme, yang menganggap bahwa sebuah realitas tidak bisa dipahami melalui kesadaran—disini karena aliran Empirisme menjauhkan kebenaran matafisis dari topik kajiannya—bahwa yang menjadi substansi adalah suatu hal yang dapat dipandang melalui penginderaan manusia.

Sedangkan, Kritisisme (yang dipelopori oleh Immanuel Kant) berusa mensintesiskan oposisi biner dari kedua aliran tersebut. Dalam sintesisnya, Kant menjelaskan proses sintesis tidaklah mengalahkan salah satu atau meninggalkan keduanya, tetapi mengambil pakem dari kedua aliran tersebut dan mengangkatnya menuju derajat yang lebih tinggi. Idealisme sendiri juga tidak melepaskan predikat subjektif, justru, pembahasan Idealisme lebih jauh menafsirkan subjek sebagai akhir dari kenyataan melalui Subjek Absolutnya.

Selain humanisme dan subjektifitas, dalam filsafat abad modern juga terdapat sebuat Term tentang universalitas. Universalitas adalah dampak dari adanya pembahasan tentang Substansi yang menjadi sebab utama dari adanya akibat-akibat selanjutnya. Misalnya Allah sebagai subtansi utama yang akibatnya menjadikan alam semesta ada.

Selanjutnya adalah kritik dan oposisi biner. Budaya yang tak terelakkan dari filsafat abad modern adalah kritik dan oposisi biner. Kritik adalah suatu pembongkaran terhadap paham tertentu. Misalnya dalam epistemis, kritik berperan sebagai kontrol atas dogma, ideologi dan manipulasi. Sedangkan dalam konteks sosial, kritik berperan untuk merobohkan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Hasil dari pada kritik tersebut kemudian menjadi sebuah oposisi dari tesis (pernyataan) yang telah ada sebelumnya.

Dasein dan Totalitas (Ada menuju Kematian)

     Pertama, Heidegger berupaya menjelaskan tentang Dasein. Bahwa Dasein tidak secara spesifik mengarah pada “adalah manusia” tetapi lebih kepada gerak terus-menerus, bukan barang jadi, dan proses. Manusia, bagi Heidegger hanya mengada, untuk kemudian menuju pada kematian. Kata yang paling tepat untuk mempertanyakan tentang  Dasein adalah “Apa?” Bukan “Siapa, Mengapa dan Bagaimana”. Karena, jika menggunakan pertanyaan terakhir, akan mengarah pada proses yang telah Ada (manusia). Sehingga Heidegger menganggap bahwa manusia hanya menopang pada Dasein untuk mengada di dunia menuju kematian. Jadi, Dasein bukanlah sebuah substansi, melainkan sebuah kehadiran. Ada adalah kehadiran.

Kedua adalah totalitas. Totalitas bisa dipahami sebagai waktu, maksudnya, ketika manusia Ada menuju kematiannya terdapat sebuah rentan waktu yang berkaitan erat dengan mengadanya di dunia. Manusia yang hadir di dunia dan berproses selama hidupnya hingga menjumpai kematiannya mengalami sebuah eksistensi, waktu sebagai panggung manusia bereksistensi. Maka, totalitas yang dimkasutkan adalah proses selama mengada hingga ketiadaannya.

Keutamaan dalam Kritik Martin Heidegger

Tidak main-main, kritik Heidegger mengarah pada bagian yang menjadi topik utama dalam pembahasan filsafat modern, yaitu tentang ontologis, tentang Ada. Heidegger berupaya meradikalkan lebih jauh ontologi (Ada). Jika dalam perkembangan filsafat modern membahas tentang apa yang Ada, kritik radikal Heidegger berposisi pada makna tentang apa yang Ada. Sebenarnya, menurut Heidegger, pertanyaan ini sudah dipertanyakan sejak zaman Yunani kuno. Namun, Heidegger berupaya mempertanyakan makna Ada dengan cara yang lebih baru. Bahwa, perlu lebih dulu mencari makna tentang Ada sebelum menjadikan suatu objek sebagai yang Ada. Budaya filsafat modern inilah yang bagi Heidegger hanya mencari siapa yang Ada dengan berbagai kesadaran yang dibangun oleh para pemikir, bukan menjelaskan lebih dulu makna tentang Ada.

Budaya filsafat modern yang selalu menjelaskan tentang “proses bagaimana sesuatu Ada dan siapa yang Ada” tanpa memaknai terlebih dahulu terhadap makna Ada, ada sebuah proses yang terlompati. Padahal pertanyaan “Siapa, Mengapa dan Bagaimana” yang Ada itulah justru mengarahkan para pemikir filsafat modern lupa akan makna Ada itu sendiri. Sehingga produk dari filsafat modern menjadikan objek sebagai yang Ada tanpa menyadari bahwa makna Ada itu adalah sebelum objek, yaitu hadir.

Kesimpulan

Melihat kebudayaan dari filsafat modern yang rupanya hanya berbicara mengenai proses, hingga kemudian membentuk ciri-ciri dari pola berfilsafat modern, Heidegger berupaya melengkapi bagian kosong yang belum terperhatikan. Melalui pertanyaan dan penjabaran teori, Heidegger mengisi bagian-bagian kosong dalam dunia filsafat. Bahwa sebelum mendekati objek (sebagai yang telah Ada), perlu terlebih dahulu mengetahui makna tentang Ada itu sendiri. Heidegger kemudian memberikan makna Ada sebagai hadir.

Heidegger memang mengkritik cara filsafat modern yang memiliki keterlupaan terhadap makna Ada. Tetapi bukan berarti dia menolak dan meleburkan metode berpikir modern, dia hanya menambahkan saja bagian yang belum terisi. Kontribusi Heidegger pada filsafat kemudian juga memiliki pengaruh terhadap pemikir setelahnya, misalnya adalah Derrida. Derrida mengambil teori kehadiran Heidegger untuk kemudian dimasukkan dalam pembahasan filsafatnya tentang bahasa.

Referensi


F. Budi Hardiman, Filsafat modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer : Jerman Dan Inggris, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Martin Suryajaya, Sejarah Estetika : era klasik sampai kontemporer, Jakarta, Gang Kabel, 2016

F. Budi Hardiman, Filsafat Kematian Heidegger,  2015 https://journal.unpar.ac.id/index.php/ECF/article/view/1995/1848

 




0 Komentar