By : Dimas Hani Kusuma
sumber gambar : https://www.celebritywithyou.com/miniature-dolls/421
Dalam
perkembangan filsafat masa modern adalah salah satu zaman yang tidak bisa
ditinggalkan. Zaman modern adalah babak baru dalam perkembangan filsafat yang
berdampak besar pada kemunculan disiplin ilmu-ilmu pengetahuan baru. Bisa kita
pahami dalam dunia pemikiran Thomas Hobbes tentang filsafat yang harus rigorus.
Melalui argumentasi bahwa filsafat tidaklah melulu soal religious, dan sebagai
salah satu tokoh empirisme, Hobbes berupaya menunjukkan ketepatan filsafat
dalam realitas sosial sebagai kuasa manusia untuk mengontrol alam semesta.
Akhirnya, Hobbes menuliskan beberapa bidang-bidang dalam filsafat yaitu,
Geometri, Fisika, Etika (psikologi), dan Politik.
Filsafat
abad modern lahir atas dasar perlawanan terhadap kekuasaan gereja yang sangat
otoriter. Orang yang memiliki pendapat menyimpang tentang gereja akan
dieksekusi tanpa pengadilan yang jelas. Mereka dilabeli sebagi orang yang sesat
dan tidak taat atas ajaran gereja, maka secara sepihak pantas untuk dieksekusi.
Senyatanya, agumentasi orang-orang yang dianggap sesat tersebut adalah suatu
upaya untuk menciptakan pemahaman baru tentang realitas melalui kesadaran
subjektif.
Gereja
yang merupakan suatu institusi agama, mengajarkan ketaatkan, cinta-kasih, dan
moral, namun, dalam prakteknya justru sangat bersimpangan. Gereja sangat anti
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dianggapnya menyimpang dari doktrin
gereja. Atas sikap otoriter itulah kemudian gerakan-gerakan perlawan muncul.
Salah satunya yang diinisiasi oleh Martin Luther. Luther menolak kebijakan
gereja tentang penghapusan dosa yang diganti dengan sebuah pembayaran (melalui
pembelian surat penghapusan dosa). Protes Luther rupanya mendapat simpati dari
masyarakat kalangan bawah, sehingga menjadikan sebuah gerakan perlawanan besar
terhadap gereja.
Ciri Filsafat Abad Modern
Gerakan
modern adalah suatu perkembangan kesadaran manusia tentang realitas. Bahwa,
melalui kesadaran, manusia bisa menempuh hakikat tentang suatu kebenaran. Inilah
kemudian dipahami sebagai suatu semangat humanisme. Bahwa hakikat tentang
kebenaran tidak hanya ditafsirkan melalui doktrin-doktrin yang telah diajarkan
oleh pihak gereja, tetapi, dengan kesadaran akal, manusia juga bisa menempuh
hakikat kebenaran.
Secara
spesifik, semangat humanisme tersebut ada dalam ciri filsafat modern tentang
subjektivitas. Bahwa, manusia sebagai subjek menjadi ukuran dan yang
mengkalkulasikan semua tentang alam semesta. Berbagai aliran dalam filsafat
modern membuktikan argumentasi ini, baik rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan
idealisme.
Rasionalisme
sebagai suatu aliran yang menganggap bahwa realitas tentang substansi bisa
ditempuh melalui kesadaran (akal)—yang dicetuskan oleh Rene Descartes sebagai
pelopor aliran Rasionalisme. Empirisme adalah antitesa dari pandangan
Rasionalisme, yang menganggap bahwa sebuah realitas tidak bisa dipahami melalui
kesadaran—disini karena aliran Empirisme menjauhkan kebenaran matafisis dari
topik kajiannya—bahwa yang menjadi substansi adalah suatu hal yang dapat
dipandang melalui penginderaan manusia.
Sedangkan,
Kritisisme (yang dipelopori oleh Immanuel Kant) berusa mensintesiskan oposisi
biner dari kedua aliran tersebut. Dalam sintesisnya, Kant menjelaskan proses
sintesis tidaklah mengalahkan salah satu atau meninggalkan keduanya, tetapi
mengambil pakem dari kedua aliran tersebut dan mengangkatnya menuju derajat
yang lebih tinggi. Idealisme sendiri juga tidak melepaskan predikat subjektif,
justru, pembahasan Idealisme lebih jauh menafsirkan subjek sebagai akhir dari
kenyataan melalui Subjek Absolutnya.
Selain
humanisme dan subjektifitas, dalam filsafat abad modern juga terdapat sebuat Term
tentang universalitas. Universalitas adalah dampak dari adanya pembahasan
tentang Substansi yang menjadi sebab utama dari adanya akibat-akibat
selanjutnya. Misalnya Allah sebagai subtansi utama yang akibatnya menjadikan
alam semesta ada.
Selanjutnya
adalah kritik dan oposisi biner. Budaya yang tak terelakkan dari filsafat abad
modern adalah kritik dan oposisi biner. Kritik adalah suatu pembongkaran
terhadap paham tertentu. Misalnya dalam epistemis, kritik berperan sebagai
kontrol atas dogma, ideologi dan manipulasi. Sedangkan dalam konteks sosial,
kritik berperan untuk merobohkan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Hasil dari
pada kritik tersebut kemudian menjadi sebuah oposisi dari tesis (pernyataan)
yang telah ada sebelumnya.
Dasein dan Totalitas (Ada menuju Kematian)
Pertama,
Heidegger berupaya menjelaskan tentang Dasein. Bahwa Dasein tidak secara
spesifik mengarah pada “adalah manusia” tetapi lebih kepada gerak
terus-menerus, bukan barang jadi, dan proses. Manusia, bagi Heidegger hanya
mengada, untuk kemudian menuju pada kematian. Kata yang paling tepat untuk
mempertanyakan tentang Dasein adalah
“Apa?” Bukan “Siapa, Mengapa dan Bagaimana”. Karena, jika menggunakan
pertanyaan terakhir, akan mengarah pada proses yang telah Ada (manusia).
Sehingga Heidegger menganggap bahwa manusia hanya menopang pada Dasein untuk
mengada di dunia menuju kematian. Jadi, Dasein bukanlah sebuah substansi, melainkan
sebuah kehadiran. Ada adalah kehadiran.
Kedua
adalah totalitas. Totalitas bisa dipahami sebagai waktu, maksudnya, ketika
manusia Ada menuju kematiannya terdapat sebuah rentan waktu yang berkaitan erat
dengan mengadanya di dunia. Manusia yang hadir di dunia dan berproses selama
hidupnya hingga menjumpai kematiannya mengalami sebuah eksistensi, waktu
sebagai panggung manusia bereksistensi. Maka, totalitas yang dimkasutkan adalah
proses selama mengada hingga ketiadaannya.
Keutamaan dalam Kritik Martin Heidegger
Tidak
main-main, kritik Heidegger mengarah pada bagian yang menjadi topik utama dalam
pembahasan filsafat modern, yaitu tentang ontologis, tentang Ada. Heidegger
berupaya meradikalkan lebih jauh ontologi (Ada). Jika dalam perkembangan
filsafat modern membahas tentang apa yang Ada, kritik radikal Heidegger
berposisi pada makna tentang apa yang Ada. Sebenarnya, menurut Heidegger,
pertanyaan ini sudah dipertanyakan sejak zaman Yunani kuno. Namun, Heidegger
berupaya mempertanyakan makna Ada dengan cara yang lebih baru. Bahwa, perlu
lebih dulu mencari makna tentang Ada sebelum menjadikan suatu objek sebagai
yang Ada. Budaya filsafat modern inilah yang bagi Heidegger hanya mencari siapa
yang Ada dengan berbagai kesadaran yang dibangun oleh para pemikir, bukan
menjelaskan lebih dulu makna tentang Ada.
Budaya
filsafat modern yang selalu menjelaskan tentang “proses bagaimana sesuatu Ada
dan siapa yang Ada” tanpa memaknai terlebih dahulu terhadap makna Ada, ada
sebuah proses yang terlompati. Padahal pertanyaan “Siapa, Mengapa dan
Bagaimana” yang Ada itulah justru mengarahkan para pemikir filsafat modern lupa
akan makna Ada itu sendiri. Sehingga produk dari filsafat modern menjadikan
objek sebagai yang Ada tanpa menyadari bahwa makna Ada itu adalah sebelum
objek, yaitu hadir.
Kesimpulan
Melihat
kebudayaan dari filsafat modern yang rupanya hanya berbicara mengenai proses,
hingga kemudian membentuk ciri-ciri dari pola berfilsafat modern, Heidegger berupaya
melengkapi bagian kosong yang belum terperhatikan. Melalui pertanyaan dan
penjabaran teori, Heidegger mengisi bagian-bagian kosong dalam dunia filsafat.
Bahwa sebelum mendekati objek (sebagai yang telah Ada), perlu terlebih dahulu
mengetahui makna tentang Ada itu sendiri. Heidegger kemudian memberikan makna
Ada sebagai hadir.
Heidegger
memang mengkritik cara filsafat modern yang memiliki keterlupaan terhadap makna
Ada. Tetapi bukan berarti dia menolak dan meleburkan metode berpikir modern,
dia hanya menambahkan saja bagian yang belum terisi. Kontribusi Heidegger pada
filsafat kemudian juga memiliki pengaruh terhadap pemikir setelahnya, misalnya
adalah Derrida. Derrida mengambil teori kehadiran Heidegger untuk kemudian
dimasukkan dalam pembahasan filsafatnya tentang bahasa.
Referensi
F.
Budi Hardiman, Filsafat modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
K.
Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer : Jerman Dan Inggris, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Martin
Suryajaya, Sejarah Estetika : era klasik sampai kontemporer, Jakarta,
Gang Kabel, 2016
F.
Budi Hardiman, Filsafat Kematian Heidegger, 2015 https://journal.unpar.ac.id/index.php/ECF/article/view/1995/1848
0 Komentar