Critical Discourse Analysis Model Norman Fairclough: Metode dan Penerapannya

 Oleh : Dendy Wahyu Anugrah 

Pict By : Twitter
Pict By : Twitter

     Pembacaan manusia terhadap realitas kehidupan terus mengalami perubahan yang tidak dapat dicegah, dibendung, maupun diberhentikan dari peredaran. Beragam konsep, metode, dan penerapannya dalam menyelesaikan persoalan tetap menjadi tujuan tanpa ujung yang dilakukan oleh manusia. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa, penolakan manusia atas statisitas dan terus berjalan sesuai dengan realitas kehidupan yang—meminjam istilah Camus—absurd.

Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, jika menelisik lebih dalam, ternyata perlu pembacaan yang lebih radikal. Tidak hanya aktivitas yang bersifat tindakan, melainkan juga pada taraf kognitif, nilai-nilai, hingga kebudayaan. Dalam perspektif sosio-politik, masyarakat tidak dapat keluar dan melepaskan dirinya dari ideologi. Menurut Franz Magnis-Suseno, dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, pengertian ideologi yang paling umum di kalangan ilmuwan sosial adalah, sesuatu yang secara intrinsik terdapat sistem nilai, moralitas, interpretasi terhadap dunia (Magnis-Suseno, 1992).

Perkembangan pemikiran mutakhir, lebih menekankan teks sebagai objek kajian sebagai upaya penyingkapan atas maksud terselubung, ideologi di balik teks, dan struktur yang menyimpan arkhe. Secara umum, pemikiran yang identik dengan paradigma skeptis terhadap teks, disebut Post-Strukturalis atau Post-Modernis. Sebut saja pemikir seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, Pierre Bourdieu, dan lain sebagainya. Secara eksplisit—maupun implisit—mereka ini menciptakan sebuah meta-konsep yang berusaha menolak “rezim kepastian”. Sebuah logosentrisme yang dikonstruk oleh filsuf Abad Modern telah memberikan legasi yang mengakar dalam pemikiran filosofis saat ini, sehingga tidak sedikit yang menganggap bahwa pemikiran yang dimulai sejak Descartes dengan Cogito Ergo Sum-nya, merupakan sebuah finalitas dalam menemukan kebenaran.

Wacana dipahami sebagai unit dan bentuk tuturan dari sebuah interaksi yang berada di kehidupan sosial masyarakat, namun juga dapat dihasilkan dalam lingkungan institusional. Teks adalah salah satu sarana wacana yang biasa digunakan untuk mendekteksi sebuah makna, tujuan, hingga ideologi tertentu. Van Dijk menyebutkan, bahwa wacana adalah teks di dalam konteks. Maka, terma sentral dalam menganalisis wacana adalah teks. Karena ia mempunyai makna konteks yang lebih luas. Istilah teks dan wacana cenderung digunakan tanpa ada diferensiasi yang jelas. Kendati demikian, teks lebih bertendensi kepada persoalan materialistik, bentuk, dan struktur bahasa. Sedangkan spektrum kajian wacana mempunyai tendensi pada persoalan isi, fungsionalitas, dan makna sosial dalam penggunaan bahasa (Silaswati, 2019).

Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA)—selanjutnya akan ditulis AWK—merupakan sebuah upaya untuk menjelaskan suatu teks pada fenomena sosial sebagai sarana untuk mengetahui kepentingan yang terdapat di dalam teks. Wacana sebagai praktis sosial dapat dianalisis menggunakan AWK untuk membongkar kepentingan-kepentingan terselubung, hubungan wacana dan perkembangan sosial-budaya, pada situasi yang berbeda dalam dimensi linguistik. Ketidakadilan dan segala bentuk ketimpangan pada fenomena sosial dapat dianalisis menggunakan AWK. Spektrum kajian AWK, dapat berpusat pada beberapa hal, antara lain: tindakan, konteks, relasi kuasa, historis, dan ideologi (Rohana & Syamsuddin, 2015).

Membahas tentang Analisis Wacana Kritis, nama seperti Norman Fairclough, T. Van Dijk, dan R. Wodak tidak dapat dilupakan begitu saja. Ketiganya merupakan pemikir dan peneliti yang mempunyai fokus terhadap wacana, terutama wacana sebagai praktis sosial. Kendati terdapat perbedaan metode maupun model analisis wacana pada ketiganya, tidak berarti juga mempunyai tujuan yang berbeda. Justru dari perbedaan yang dihadirkan oleh ketiganya, mempunyai orientasi yang sama, yakni perubahan sosial. Fairclough misalnya, mencoba menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang bersifat makro (Sumarti, 2010). Pandangan mengenai hubungan dialektis antara struktur maksro dan mikro ini sebenarnya berangkat dari ahli bahasa, yakni Michael Halliday (1925-2018). Bahwa ia menegaskan bahwa bahasa adalah produk dari proses sosial. Dan kemudian, hubungan timbal balik ini dikukuhkan oleh Fairclough yang menurutnya bersifat determinatif (Santoso, 2008).

Norman Fairclough adalah Guru Besar Linguistik di Departement of Linguistics and English Language, Lancaster Unerversity, Inggris. Ia adalah salah seorang yang mengembangkan AWK. Secara sederhana, analisis wacana yang digagas oleh Fairclough adalah analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya. Model analisis yang melihat wacana sebagai bentuk upraktik sosial, sehingga berpotensi menampilkan efek ideologis, memproduksi, mereproduksi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara kelas sosial, gender, maupun kelompok masyarakat. Bahasa dipahami sebagai praktik sosial. Analisis wacana Fairclough juga berusaha mengintegrasikan linguistik dengan perubahan sosial, sehingga model ini seringkali disebut Dialectical-Relational Approach (DRA) (Saraswati & Sartini, 2017).

Menurut Jorgensen & Phillips, pendekatan Fairclough menganalisis diskursus yang berorientasi kepada teks untuk menyatukan tiga tradisi, antara lain: pertama, analisis tekstual dalam bidang linguistik; kedua, analisis makro-sosiologis dari praktik sosial, termasuk teori-teori Foucault yang tidak menyediakan metodologi analisis teks; ketiga, tradisi mikro-sosiologis dalam disiplin ilmu sosiologi. Dalam mengintegrasikan ketiga tradisi tersebut, Fairclough mengisi kekurangan analisis teks yang banyak dikembangkan oleh ahli linguistik. Analisis terhadap teks saja tidaklah cukup, karena hal tersebut tidak dapat menyingkap lebih jauh dan mendalam kondisi sosio-kultural yang menjadi latar belakang munculnya teks (Munfarida, 2014).

Konsep yang dibangun oleh Fairclough menitikberatkan pada tiga level. Pertama, setiap teks secara fungsional memiliki representasi, relasi, dan identitas. Kedua, praktik wacana meliputi cara yang digunakan produsen teks. Hal ini menunjukkan bahwa, terdapat subjektivitas dalam pembuatan wacana yang tidak dapat dihindari. Salah satu contoh ialah wartawan. Sebagai wartawan tidak akan terlepas dari lingkungan dan pola kerja media, seperti cara meliput berita, menulis berita, hingga menjadi berita dalam media. Ketiga, praktik sosio-kultural menganalisis politik, ekonomi, dan budaya yang juga memengaruhi institusi media dan wacananya (Fauzan, 2014). Pembahasan praktik sosial-budaya mempunyai tiga klasifikasi, antara lain: level situasional, institusional, dan sosial. Level situasional berkaitan dengan produksi wacan dan konteks situasinya. Sedangkan level yang kedua, berkaitan dengan implikasi institusi secara internal maupun eksternal. Level yang terakhir, mempunyai keterkaitan dengan situasi yang lebih luas, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem kebudayaan yang berlaku di masyarakat.

 Dalam AWK, Fairclough memberikan empat langkah metode dan secara berurutan akan dijelaskan di bawah ini (Haryatmoko, 2022):

Pertama, fokus pada ‘ketidakberesan sosial’ dalam aspek semiotiknya.

     Ketidakberesan dalam sistem sosial dianggap sebagai hal yang penting untuk dicari, dikaji, dan ditemukan. Karena hal tersebut dapat menjadi sebab ketimpangan atau merusak kesejahteraan kolektif, yang bisa diperbaiki dengan cara radikal dari sistem. Ketidakberesan sosial berarti sebuah kekurangtepatan yang terjadi dalam sistem sosial, tidak semestinya terjadi. Seperti halnya, kemiskinan, diskriminasi, ketidakadilan, minimnya kebebabasan berpendapat, bahkan rasisme. Untuk memfokuskan pada ketidakberesan sosial ini, perlu dua langkah yang bermaksud mendefinisikan topik yang sedang diambil, yakni memilih topik penelitian terkait dan mengkonstruksi ibjek penelitian dengan kerangka epistemik.

Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk mengatasi ketidakberesan sosial.

     Pada tahap ini perlu pendekatan yang mempertanyakan bagaimana kehidupan sosial dikonstruksi sehingga mencegah dari terjadinya upaya menangani ketidakberesan sosial tersebut. Hal ini membutuhkan analisis struktur sosial dan proses semiotik. Maka identifikasi ini membutuhkan seleksi dan analisis teks yang relevan dan mengkaji hubungan dialektik antara semiosis dan unsur-unsur sosial.

Untuk mengidentifikasi masalah dengan menghasilkan data-data yang diinginkan, terdapat tiga cara yang dihadirkan oleh Fairclough, antara lain: pertama, analisis hubungan dialektik antara semiosis dan unsur sosial; kedua, menyeleki teks dan fokus pada analisis teks yang telah diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian; ketiga, melakukan analisis teks, baik analisis interdiskursif maupun analisis linguistik dan semiotik.

Ketiga, mengidentifikasi apakah tatanan sosial “membutuhkan” ketidakberesan sosial.

     Pertanyaan atas kebutuhan ketidakberesan sosial ini adalah cara untuk mendapatkan sebuah penjelasan tentang apakah ketidakberesan tersebut dapat ditangani dalam sistem, atau hanya bisa ditangani dengan cara diubah. Hal ini merupakan cara untuk menghubungkan antara sesuatu yang faktual dan yang semestinya (normatif). Misalnya, jika suatu tatanan sosial jelas menghasilkan ketidakberesan sosial yang merugikan masyarakat pada umumnya, maka hal tersebut menjadi alasan yang logis untuk melakukan perubahan. Tentu, kaitannya dengan masalah ideologis; wacana selalu bersifat ideologis, sejauh ia mendukung perihal kekuasaan dan dominasi tertentu.

Keempat, mengidentifikasi cara yang berpotensi mengatasi hambatan.

     Analisis pada tahap terakhir ini, bermaksud untuk mengidentifikasi potensi-potensi dalam proses sosial untuk mengatasi hambatan yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan pengembangan penelitian agar hambatan tersebut dikritisi, ditantang, bahkan ditolak dalam kelompok sosial, struktur politik, ekonomi, dan pranata budaya. Analisis juga berpusat pada proses semiosis—segala bentuk pembuatan makna—seperti visual, bahasa tubuh, verbal, dan lain sebagainya. Dalam praksis sosial terdapat aktivitas produktif, sarana produksi, relasi sosial, identitas, nilai budaya, kesadaran, dan proses semiosis.

Dalam konteks ini, seperti halnya yang sudah dibahas di awal, bahwa AWK merupakan analisis hubungan antara semiosis dan praktis sosial. Proses semiosis tersebut dipaparkan oleh Fairclough dalam tiga dimensi, yakni teks, praktik diskursif, dan praksis sosial. Pertama, teks, yaitu segala sesuatu yang mengacu pada wicara, tulisan, grafik, dan bentuk linguistik teks (khazanah kata, gramatika, syntax, struktur metafora, dan retorika). Kedua, praktik diskursif, adalah segala bentuk produksi dan konsumsi teks. Dalam dimensi ini terdapat proses menghubungkan produksi dan konsumsi teks, atau melihat terdapat interpretasi. Bagaimana produsen teks mengambil wacana maupun genre yang ada dengan memerhatikan hubungan kekuasaan. Ketiga, praksis sosial, merupakan analisis pengaruh wacana terhadap realitas sosial. Wacana dikonstruk oleh dan mengkonstruk praksis sosial.

Model tiga dimensi Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough digambar sebagai berikut (Fairclough, 1995).

 

 







Daftar Rujukan

Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Addison Wesley Longman Publishing. http://pustaka.minangkabau.unand.ac.id//index.php?p=show_detail&id=813

Fauzan, U. (2014). Analisis Wacana Kritis Dari Model Fairclough Hingga Mills. Pendidik, 171(6), 727–735. https://eje.bioscientifica.com/view/journals/eje/171/6/727.xml

Haryatmoko. (2022). Critical Discourse Analysis: Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan (4th ed.). RajaGrafindo Persada.

Magnis-Suseno, F. (1992). Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=292972

Munfarida, E. (2014). Analisis Wacana Kritis Dalam Perspektif Norman Fairclough. Komunika, 8(2), 130–141. https://doi.org/10.1177/15271544221088250

Rohana & Syamsuddin. (2015). Analisis Wacana. http://eprints.unm.ac.id/19564/

Santoso, A. (2008). Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Bahasa Dan Seni, 36(11), 1–14.

Saraswati, A., & Sartini, N. W. (2017). Wacana Perlawanan Persebaya 1927 terhadap PSSI : Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Mozaik Humaniora, 17(2), 181–191.

Silaswati, D. (2019). Analisis Wacana Kritis Dalam Pengkajian Wacana. METAMORFOSIS | Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia Dan Pengajarannya, 12(1), 1–10. https://doi.org/10.55222/metamorfosis.v12i1.124

Sumarti, E. (2010). Analisis Wacana Kritis: Metode Analisis Dalam Perspektif Norman Fairclough. Lingua Scientia, Volume 2, Nomor 2, November 2010, 7(1), 37–72.

 


0 Komentar