Mungkin tidak terlalu aneh memuji sebuah paham atau ajaran untuk meninggalkan
kehidupan yang bersifat duniawi (asketisme) yang mulai dipraktikkan para sufi
seakan mengalami pergeseran dan masuk ke dalam sebuah keyakinan bahwa alam
semesta merupakan manifestasi Tuhan (panteisme). Kita tahu bahwa hal ini merupakan
ciri-ciri tasawuf di akhir abad ketiga setelah masa kenabian Nabi Muhammad SAW.
di mana para sufi memperkenalkan unsur baru mengenai konsepsi tentang Tuhan
yang tidak terbatas dan memilki hubungan dengan manusia yang sifatnya terbatas sehingga
membentuk subjek utama dari perjalanan spiritualitas kerangka meditasi sufi
panteistik.
Dan yang ditakdirkan menjadi orang pertama yang memberikan ide-ide konsepsi seperti itu tidak asing lagi dikalangan para sufisme Arab, seorang pekerja miskin pembuat kapas, yakni Ibnu Mansur Al-Hallaj. lahir di persia, tapi banyak menimba ilmu di Irak dengan hak istimewa disana yang diajarkan langsung oleh Imam Junyd al-Baghadi, Melihat dari sejarahnya beliau merupakan seorang sufi yang berpikiran lebih waras dari seorang sufi yang sezaman dengannya yakni Abu Yazid al-Bushtomi dengan konsep tasawufnya itu. Dengan begitu dalam sejarahnya beliau sangat tidak bersusah payah menjaga bahasanya untuk menyampaikan pengetahuan tasawuf kepada murid-muridnya. Terlepas dari pandangan Syiah atau Sunni yang terlalu membesar-besarkan namanya. sangatlah jelas bahwa sebagian besar murid-muridnya sangat menghormatinya sebagai guru pembimbing spiritual, dan banyak dari murid-muridnya menganggap beliau memilki kekuatan supranatural. Ibnu Mansur al-Hallaj di didik di sekolah ortodoksi sunni Junaid, yang menekankan pada suatu kecendrungan pada gagasan cinta kepada Tuhan, memiliki karakter yang cenderung mistik daripada karakter yang sifatnya dogmatis, di situ Ibnu Mansur al-Hallaj membiarkan dirinya terbawa oleh temperamen yang penuh gairah tidak hanya dalam berdakwah, tetapi juga secara praktis. menerapkan pada dirinya sendiri doktrin-doktrin yang dipelajarinya disana. Salah satu ucapannya yang sangat luar biasa “Anna Al-haq / Akulah Kebenaran” yang pada akhirnya mengarah pada eksekusinya. “Kebenaran” menjadi salah satu nama Tuhan yang dipakai Nabi muhammad dalam khazanah islam untuk memberikan kriteria penamaan sifat-sifatNya (nomenklatur). Meskipun demikian, bahkan sampai saat ini beliau dianggap sebagai salah satu orang suci terbesar dikalangan para sufi, sementara yang lebih ortodoksi banyak menggangap beliau sebagai penghujat yang sangat berani dan pengabaikan para sufi lain yang sezaman dengannya.
“Ana Al-Haq” sebagai alasan persekusi
Popularitas Ibnu Mansur al-Hallaj yang terus meningkat seakan membuat skandal para mullah mulai menggerakkan pihak berwenang untuk melanjutkan perlawanan terhadapnya dan berhasil mendapatkan eksekusi yang tercatat dalam literatur sejarahnya pada tahun 922 M. Sebelum kematiannya al-Hallaj mengalami siksaan yang mengerikan yang ditanggung dengan ketenangan bathin luar biasa. Alasan penghukumannya dinyatakan karena menganggap dirinya sebagai inkarnasi Tuhan. Murid-muridnya menghormati sebagai orang suci setelah kematiannya. Mereka menganggap bahwa al-Hallaj dengan kata-katanya "Akulah Kebenaran" ( yaitu Tuhan), yang mereka ambil dalam pengertian panteistik. Ibnu Mansur al-Hallaj dikatakan telah mengajarkan doktrin inkarnasi Ketuhanan dalam diri manusia kepada murid-muridnya.
Seketika pihak yang memiliki wewenang,
menangkap inovator pemberani dan membunuhnya dengan cara yang kejam saat itu juga. Tapi
kata yang pernah diucapkan telah terbawa angin ke segala arah, dan eksekusi al-Hallaj
memberikan dorongan yang kuat untuk menyebarkan doktrinnya. Seperti, Ibn Hazm
seorang penulis tepercaya yang menulis tentang al-Hallaj disekitar 150 tahun
setelah eksekusinya, mengatakan dengan tegas ”bahwa ini sangat jelas, mengindikasikan
murid-murid al-Hallaj setelah kematiannya banyak menganggapnya sebagai makhluk
ilahi. Lain halnya dengan al-Ghazzali, yang menulis sekitar lima puluh tahun
kemudian, tidak menyebutkan bahwa itu sebagai kesesatan, tetapi imam al-Ghazali
melindungi al-Hallaj dari tuduhan penistaan agama dengan menafsirkan
seruannya "Akulah Kebenaran" hingga al-Ghazali memberikan pengertian
secara panteistik, dan memaafkannya dengan menganggap al-Hallaj sebagai kekasih
Allah dengan kecintaannya yang berlebihan.
Tuhan dan
ekstasi mistik dalam tubuh sejarah islam
Ada masa-masa dalam kehidupan
ketika kerinduan akan al-Hallaj yang mati syahid menjadi wabah. Diketahui
beberapa tahun setelah eksekusi al-Hallaj, seorang laki-laki beranama Ibnu Abi Azkir, dari desa yang sama,
tempat dimana Al-hallaj pernah menghabiskan masa mudanya. Menyatakan dengan
sama bahwa dirinya sebagai inkarnasi Ketuhanan. Dia menerima perlakuan
seperti al-Hallaj dihukum mati bersama beberapa pengikutnya di bawah
pemerintahan Khalifah Radhi di tahun 933 M. Seabad setelah al-Hallaj
seorang berasal dari Mesir, Ismail Darazy seorang penceramah ismaili di abad ke-11 dan menjadi pemimpin awal kepercayaan Druze turut memproklamasikan Khalifah Hakim Fatim sebagai
inkarnasi Ketuhanan.
Kesimpulan
Menyadari bahwa kata-kata al-Hallaj
memberi kita wawasan yang mendalam tentang karakter yang luar biasa dari
periode sejarah tersebut. Dari mereka kita menyimpulkan dengan pasti bahwa
pembagian tasawuf ke dalam dua kelas, satu ortodoks dan secara lahiriah sesuai
dengan kepatuhan akan kebenaran dalam islam, dan yang lain berpikiran bebas /panteistik,
sudah merupakan fakta yang ada sebelum masa imam al-Ghazali. Menyadari bahwa
tasawuf jenis terakhir ini sangatlah populer di kalangan masyarakat kelas bawah
dan bahkan di antara penduduk yang yang tidak memilki prestise kekuasaan. Karakteristik
mendasar dari mistisisme, sebagai upaya mengejar pengetahuan tentang Tuhan
melalui intuisi yang luar biasa, nampaknya akan menjadi konflik secara terbuka
dengan prinsip-prinsip dasar Islam. "Cinta yang sifatnya mistis
kepada Tuhan" adalah semboyan yang membuat orang terjun ke dalam lamunan
yang sangat luar biasa, dan dengan tenggelam sepenuhnya dalam perenungan
untuk menghilangkan kepribadian mereka, mengistilahkan dengan peleburan diri itu
sebagai upaya untuk melebur ke dalam diri Tuhan. Istilah "pertapa"
dan "Sufi", yang dulunya hampir identik, sampai hari ini nampaknya tidak
lagi sama, dan sering dalam catatan sejarah seakan banyak menyembunyikan suatu
perbedaan mendasar antara satu sama lain. Terlepas dari kepentingan politik dan
sejarah, nampaknya kita tidak akan salah jika menghubungkan krisis perkembangan
intelektual ini dengan munculnya al-Hallaj sebagai tanda titik awal terjadinya perpecahan
filosofis-religiusitas dikalangan umat islam.
Wallahu a’alam Bishawab
0 Komentar