Kegilaan memilki tempat tersendiri pada wacana kesusastraan arab seperti dalam sebuah kitab kuno Uqala al-Majnun (perkataan orang-orang gila) buah karya Abu Al-Qosim al-Nasaibur yang mengisahkan 500 kisah pemikir genius muslim yang diagnggap gila dalam sejarah islam. Dikisahkan dalam kitab tersebut ada seseorang yang dianggap gila bernama Uwais al-Qorni. orang yang selalu mempertanyakan apa itu kebenaran. Hingga ia menyimpulkan bahwa kebenaran itu tidak dimilki manusia hanya Tuhan lah yang memilki kebenaran. Menurut Uwais al-Qorni dalam kitab tersebut jika menusia dapat memberikan kepastian dengan ilmu, maka dengan kepastian itu tidak bisa dikatakan sebagai kebenaran. Dikisahkan dalam kitab tersebut secara detil dari beberapa manuskrip epistemik dan memilki inherensi dalam kesejarahan sehingga menimbulkan minat untuk memunculkan ilmu-ilmu khusus psikis dan kemanusiaan. Terlepas dari situ jika diamati lebih mendalam Kitab Uqala al-Majnun ditulis dalam penerjemahan yang saling menguatkan yakni dengan (balaghah Muqabalah) mengungkapan dua kalimat lalu diiringi dua kalimat lain yang merupakan lawan katanya (antonim). Maka tidak heran dalam kitab tersebut memilki pesan dimana ketiadaksamaan prilaku atau sikap seseorang dengan melawan keumumuman masyarakat (sosiohistoris-nya) akan dilebeli “gila” (majnun).
Gila
dalam prespektif positif dan negatif
Orang-orang yang genius dalam kitab
tersebut dipandang sebagai orang gila (majnun) dikarenakan kemampuan berpikir mereka yang telah melampaui
orang-orang pada umumnya maka dalam perkembangan masyrakat menjadi frasa seperti
“ide gila”, “karya gila”. Beberapa aspek kegilaan dapat diteliti sebab-sebabnya
secara umum kegilaan adalah suatu gejala yang melanda instabilitas masyrakat. Maka
tak heran jika acapkali gila dalam sisi prespektif negatif justru menjadi
kebalikannya membuahkan penghancuran manusia dengan kemanusiaannya.
Ilmu
dan kebenaran ?
Uwais al-Qorni diceritakan dalam kitab
tersebut dianggap gila kerena telah melakukan kebajikan dengan mengasingkan
diri dari segala prestise kekuasaan yang akan dilekatkan padanya. Sesuatu sikap
dan tindakannya membuat dirinya dilebeli gila. Lantaran menolak menjadi hakim,
menolak gelar sebagai orang yang pardai. Menurut Uwais al-Qorni merekalah yang
gila. Terlebih ketika al-Qorni yang menolak akan claim kebenaran dari ilmu. Al-Qorni
seraya menegaskan bahwa baginya segala jenis ilmu itu merupakan “kepastian” bukan
“kebenaran” segala kebenaran hanya dapat dilekatkan pada Tuhan sebagaimana yang
diterangkan dalam Al-Qur’an. Menyadari bahwa menurut al-Qorni itu ilmu hanya
menghidangkan kepastian. Namun, kepastian dalam ilmu meniscayakan sifatnya yang
temporal tidak paten dalam suatu masa. Lantaran ilmu masih membutuhkan
perdebatan dibantah atau masih membutuhkan penyangkalan, sehingga terus menerus
menemukan kesempurnaan dari masa ke masa dalam kehidupan manusia.
Bukan
kebenaran tapi doktrin kuasa
Tanpa demikian meminjam pemikiran gila
dari Uwais al-Qorni bahwa ilmu yang tidak bisa dikatakan sebagai kebenaran
karena masih memiliki fase dan tahap yang sifatnya temporal. maka menunjukkan realitas
seperti itu, tidak bisa untuk diistilahkan sebagai ilmu tetapi doktrin. Jika
sesuatu ketetapan yang paten harus menerima kebenaran secara bersama tanpa
adanya syarat maka bukan lagi ilmu tapi doktrin kekuasaan. Dikarenakan sebuah
ilmu menurut Uwais al-Qorni suatu ilmu harus diperkuat dengan pola ilmu yang
lain, dikritik atau diperdebatkan demi mencapai kepastian bersama sebagai ruang
atau jalan menuju kepada kebenaran.
Dari sini kita tahu bahwa tidak ada ilmu
yang dapat mengklaim mengetahui atau menentukan segalanya dikarenakan ada
batasan dimana setiap kerangka base pengetahuan memilki sesuatu yang
kemungkinan tidak bisa dijawab secara real. Semisal jika dalam pengetahuan sains
dapat mengklaim kepastian dan mengetahui segalanya, secara tidak langsung kerangka
saintis menunjukkan kelemahannya yang sebenarnya tidak mengetahui apa-apa. Dapatkah
sains menjawab “berapa banyak bintang di langit?” dan menyembuhkan orang yang
terpapar penyakit berbahaya.
Sekalipun
agama yang mengklaim dirinya mengetahui segalanya perihal kehidupan manusia, kehidupan
dunia sesudahnya atau alam semesta. Nampaknya akan terjawab dalam catatan
sejarah. Banyak kekacauan hidup dalam sejarah ketika agama menolak sains.
Seperti menghukum Galileo Galilei, menyiksa Ibnu Mansur al-Hallaj. Dapat diterima
jika jenis ilmu apapun haruslah menciptakan ruang dialektika untuk menemukan
komposisi sebagai jalan mendekati kepada kebenaran.
Kita tahu
bahwa pikiran al-Qorni dalam kitab Uqala al-Majnun dianggap sesuatu
penyimpangan dan gila, nampaknya penilaian yang melebeli al-Qorni dikarenakan
ketidaksanggupannya berdialog dengan kekuasaan dan struktur sosial, terlebih saking
sibuknya mengurusi ibunya yang tua renta.
Penulis
kitab tersebut Abu al-Qosim An-Nasaiburi menuliskan betapa tinggi drajat Uwais
al-Qorni di mata Nabi Muhammad walaupun dalam sejarahnya tidak pernah berjumpa
langsung.
0 Komentar