Tersebutlah seorang pertapa asketis bernama Jantaka. Ia memiliki sembilan anak binatang. Salah satu dari anak-anak Jantaka bernama Celeng Demalung.
Tapi siapa dapat menghentikan binatang pengrusak pertanian, anak-anak Jantaka? Tak ada, selain Jantaka. Kerakusan anak-anak Jantaka hanya dapat dikendalikan Jantaka sendiri, meski ia kewalahan mengendalikan anak-anak binatang itu. Justru orang suci, pertapa atau penekun jalan ketuhanan, adalah orang yang dirasuki binatang. Ia harus berjuang menaklukkan binatang-binatang lantaran binatang-binatang itu berada di dalam dirinya sendiri. Jika tidak, ia raksasa yang selalu merusak kebun-kebun kehidupan yang semestinya ia jaga, ia pelihara.
Dibuatlah perjanjian dengan binatang-binatang itu. Binatang-binatang itu diberi makan, tapi mereka diminta untuk tak merusak kebun-kebun. Perjanjian dengan bintang, percuma. Bagaimana menjelaskan budaya dan kemanusiaan pada bintang? Binatang-binatang itu melanggar, mereka tetap merusak kebun-kebun. Anak-anak Jantaka terus melakukan pengrusakan dengan rakus. Kata anekdot, binatang tak bisa jadi manusia. Tapi manusia sangat bisa jadi binatang. Lalu dikenal ada manusia berkepala celeng, itulah si Celeng Demalung.
Celeng tak pernah menggak-menggok. Ia lewat pada jalur yang sama. Kalau ada orang duduk di jalur celeng biasa lewat, kemudian dia ditabrak celeng, kita tak bisa menyalahkan celeng. Sebab itu memang jalurnya celeng. Yang salah si orang, salah sendiri duduk-duduk di jalur celeng. Lantaran celeng tak pernah membunyikan klakson atau memakai listing kiri dan kanan.
(Taufiq Wr. Hidayat)
Kunjungi juga profil kami dengan klik Disini
Dan jika kalian ingin mengirim tulisan bisa langsung klik di gambar ini.
0 Komentar