PERAHU
Taufiq Wr. Hidayat
Dalam karyanya “Im Horizont des Unendlichen” (Dalam Horison Ketidakterbatasan), Nietzsche mengibaratkan segala nilai adalah perahu. Bukan kapal yang kokoh dan mapan. Keruntuhan nilai hanya dapat dicapai tatkala manusia meniadakan segala nilai. Dengan perkataan lain: dibongkar. Terciptalah nihilisme. Namun dalam menghadapi ketiadaan atau keruntuhan nilai itu, ia tak bersikap diam (pasif). Tatkala ia telah mengafirmasi keruntuhan makna dan nilai, ia ternyata tak dapat menanggalkan kenangan dari nilai dan makna yang lampau. Ia seharusnya menyelenggarakan “pembalikan nilai”, menjelma yang aktif, yang kritis. Ia senantiasa mempertanyakan segala nilai segala makna yang telah mapan. Pun setiap peristiwa dan perubahan. Ialah melakukan penilaian ulang segala nilai yang telah ada dan mapan, yang menjadi beku bagai berhala---apakah ia yang bersumber dari kekuasaan maupun keyakinan. Tak ada nilai dan makna absolut dan mutlak yang ditanggung kebenaran dan manfaatnya oleh Tuhan. Atau kekuasaan. Ia harus membebaskan diri dari yang absolut yang menangung keselamatan dirinya dan dunia. Dan saat segala nilai menjelma absolut, manusia perlu meninggalkannya. Maka ia bagai menumpangi sebuah perahu yang sejatinya rapuh untuk mengarungi samudera ketakberhinggaan. Tak ada akhir dari pelayaran, tak hendak mencapai sebuah pulau untuk berlabuh dan merasa aman. Melainkan terus-menerus dalam pelayaran. Terus-menerus dalam gelora kesadaran menghadapi samudera tanpa batas. Dan jika “perahu nilai”---yang memang rapuh tersebut, mengalami rusak, ia harus membuangnya kemudian mengganti “perahu nilai” itu dengan “perahu nilai” yang baru.
Di tengah segala yang tak selalu menyajikan kebenaran secara utuh, apa yang dibentuk oleh media, harus dipertanyakan, dibongkar, dan dinilai ulang ketepatannya di tengah kehidupan. Lantaran segala ketakutan tak lain karena tiap orang selalu ingin merasa aman tanpa aktif menciptakan keamanan yang sesuai dengan keadaan hidupnya. Sedang dunia bukanlah tempat yang aman dalam diam. Melainkan ruang pergulatan tiada tara, tiada muara. Dan di dalam segala pergulatan itulah, keamanan diciptakan. Bukan diandaikan. Orang takut penyakit, tapi ia tak pernah berani meyakini dirinya sebagai makhluk berakal yang dapat mengatasi penyakit. Tanpa keberanian dan kemantapan sikap memedomani nilai baru yang ditegakkan dari reruntuhan nilai lama atau yang menindas, keamanan hanyalah ilusi dan khayalan. Lantaran “ilusi keamanan” itu diselenggarakan atas kuasa dan ancaman. “Keamanan yang didasarkan pada senjata dan kekuasaan adalah penindasan,” ujar WS. Rendra. Senjata, penyakit, dan kesempitan adalah ancaman. Sedang kekuasaan menertibkan pandangan orang banyak pada satu pengertian yang seragam. Samudera tanpa pantai dalam Nietzsche itu, seolah digambarkan dalam pengertian spiritualitas Jawa. Orang Jawa berkidung.
samudro agung tanpo tepi angrambahi endi kang aran Alah
tan loro tetelu
kawulane tanno wikan
sirno luluh kang aneng datullajati
kang aran segoro purbo
sembahyang ngiras nyambut damel
lenggah sinambi lumampah
lumajeng salebeting kendel
ambisu kaliyan wicanten
kesahan kaliyan tilem
tilem kaliyan melek
samudera luas tanpa tepi
mencari di mana sebenar berjuluk Tuhan itu
bukan yang kedua atau yang ketiga
manusia tak mampu mencapai
melainkan musnah dalam zat Tuhan sejati
sembahyang sekaligus kerja
duduk juga berjalan
berubah-gerak dalam diam
bisu sambil bicara
bepergian sembari tidur
tidur sekaligus terjaga
2022
Ilustrasi : Ainun Najib
0 Komentar