ARMAYA
Taufiq Wr. Hidayat
WA bergetar. Pagi. Tiba pesan. Kabar duka. AK. Armaya wafat. Kabar itu saya peroleh langsung dari Pak Mulyadi, keponakan beliau.
AK. Armaya, sastrawan dan tokoh budaya Banyuwangi yang penting, wafat di usia 93 tahun. Kematian agaknya tak bisa membunuhnya. Bagi saya, dia guru sekaligus orangtua. Kecintaan dan kegilaannya pada sastra dan budaya begitu berkilau-kilau. Kegilaan di balik sikap hidupnya yang sederhana dan rendah hati. Kematian memang tak bisa membunuhnya. Meski dengan kematian, jasadnya dikubur. Tapi kematian tak sanggup merenggut jejaknya, tak bisa membuatnya mati. Tak bisa membuatnya terkubur.
Bagi saya, Armaya adalah tokoh penting sastra dan budaya. Saya tak akan menyematkan kata “nasional”, “lokal”, atau “dunia”. Itu cuma pengakuan. Label-label yang sebenarnya omong kosong. Lantaran ia telah melampaui ketenaran dan pengakuan. Sastra dan budaya ialah nafasnya. Dan untuk itu, ia berkomitmen menghidupi. Dan asik berenang-renang tenang di dalamnya.
SING ONO JODOH
Armaya adalah pencipta lagu legendaris Bahasa Jawa berdialek Banyuwangi berjudul “Sing Ono Jodoh”. Lagu tersebut berpuluh-puluh tahun sampai sekarang, karib di telinga orang Banyuwangi. Dan barangkali tak banyak orang tahu, kisah dalam syair lagu itu---dugaan saya, adalah kisah hidup Armaya. Laki-laki itu jatuh cinta pada seorang gadis. Sang gadis pun mencintai sang laki-laki. Tapi entah karena apa, keduanya tak jadi menikah. Sang gadis menikah dengan laki-laki lain. Sedang lelaki kasihnya, patah hati. Jauh pergi membawa luka dan perih. Tapi hati laki-laki itu merelakan kebahagiaan gadis yang dicintainya meski tak hidup bersama. Dan ia tak ingin merusak persaudaraan di antara keduanya. “Sing ono jodoh, seduluran baen” (kalau tak berjodoh, kita bersaudara saja). Dan laki-laki yang patah hati tersebut---hingga akhir hayatnya, tak pernah jatuh cinta lagi. Ia menyendiri saja sampai akhir hayatnya.
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri
(Cintaku Jauh di Pulau, Chairil Anwar, 1946)
Hingga pagi itu (Minggu 26 Juni 2022) Sekitar pukul 07.00 Wib, Armaya seperti biasa memberi makan ayam-ayamnya. Dia akrab dengan hewan-hewan ternak. Dengan suara lantang, Armaya memanggil-manggil salah satu ayamnya yang paling nakal dan lucu. “Sini kamu. Makan! Petok! Petok! Petok!” ujarnya.
Ayam-ayam kampung berebut biji-biji jagung yang ditebarkan Armaya di halaman samping rumahnya yang sempit. Setelah ia memberi makan ayam-ayam, ia masuk. Ke tempat tidur. Biasanya ia bangun subuh pukul 04.00 Wib, beraktivitas sampai 07.30, lalu ia akan tidur. Bangun lagi pukul 09.00 Wib, beraktivitas sampai siang. Kemudian tidur siang. Pada Minggu pagi itu, setelah memberi makan ayam-ayam, ia tidur pukul 07.30. Merebahkan tubuhnya yang tua, dengan usia yang nyaris seabad. Renta. Dan lelah. Minggu pagi itu, ia tidur, dan tak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya. Tak ada yang tahu kematiannya. Ia tidak sakit. Hanya tidur. Mati pun sendiri.
Dan kematian tak dapat membunuhnya. Justru dengan kematian, ia menjadi kekal.
IMPIAN YANG TERKENANG
Tapi bukan hanya itu. Seorang mahasiswa S-2 Universitas Gajah Mada (UGM) Jurusan Sejarah, membuat tesis perihal biografi karya, gerakan, dan pemikiran Armaya. Dia adalah Monica Frensia M. F. Tesis tersebut digarap Monica di bawah bimbingan seorang sejarawan yang termashur sebagai penulis sejarah Blambangan dan Guru Besar Sejarah UGM Jogja, yakni Dr. Sri Margana, M.Phil. Sayangnya karya tesis Monica tak dibukukan. Namun tesis itu dapat dilacak pada Armaya: Biografi Pemikiran Sastra dan Sejarah Banyuwangi (2002-2005).
Di balik kisah yang pilu lagu “Sing Ono Jodoh”, ada harapan sederhana dari penciptanya. Armaya punya keinginan Banyuwangi mempunyai sekolah tinggi seni yang bagus, perpustakaan yang besar, museum lukisan, dan pusat dokumentasi. Beberapa waktu yang lalu, seorang kawan pelukis menyampaikan “gagasan besar”nya. Ia ingin Banyuwangi punya museum lukisan dan pusat dokumentasi seni. Gagasan tersebut---katanya, ia sampaikan dan pikirkan sejak tahun 2010. Saya menyimak penjelasannya. Diam-diam di dalam hati saya bergumam, Armaya telah menyampaikan gagasan tersebut sejak ia pulang ke Banyuwangi sekitar 1987. Dan gagasan itu ia tulis dalam novelnya berjudul “Bayangan” yang dimuat dalam Buletin Jumat Baiturrahman Banyuwangi antara tahun 2002 sampai 2005.
Sebuah keinginan yang belum terjadi sampai beliau wafat.
YANG TAK PERLU DIAKUI
Barangkali tak banyak orang tahu, dia adalah sastrawan penting yang hidup dalam sejarah sastra Indonesia. Armaya karib dengan WS. Rendra, Mansur Samin, dan Hartojo Andadjaja. Sikapnya yang pendiam, membuat Armaya tak pernah menceritakan masa lalunya yang---bagi saya, sangat menakjubkan. Kalau pun ia bercerita masa lalunya, ia akan banyak mengisahkan kehidupan kawan-kawannya. Armaya gemar dan merasa bahagia sekali jika sudah menceritakan kisah hidup kawan-kawannya dulu. Ia akan menceritakan ciri khas, sikap lucu, kelebihan, kebahagiaan, bahkan penderitaan yang dialami kawannya. Nyaris ia tak pernah menceritakan pengalaman hidupnya sendiri. Itu kerendahan hati yang---bagi saya, mengagumkan. Ia memang pendiam. Dan tak gemar berada di depan. Kalau datang, pasti mengambil posisi di belakang. Setiap kali orang memintanya ke depan, ia menolak dan menyilahkan yang lain.
Ia punya nama Abdul Kadir Zaelani. Seringkali disingkat AKZ di depan nama Armaya. Nama Armaya adalah nama pena. Rupa-rupanya Armaya mengagumi Tan Malaka. Sosok pemikir Islam yang dianggap komunis. Kekaguman tersebut bukanlah kekaguman pada ideologi, meliyankan kekaguman pada sepak terjang Tan Malaka di dalam memperjuangkan kemerdekaan. Di samping itu, Armaya mengagumi kepribadian Tan Malaka yang penyendiri, namun banyak kawan. Tak gemar menonjolkan diri, tetapi punya peran yang sangat penting di dalam suatu gerakan. Sehingga di mana-mana, ia selalu memakai nama samaran untuk menyembunyikan identitas atau jati dirinya.
Armaya memakai nama samaran. Ia tak gemar memperkenalkan diri, dan selalu menyembunyikan identitasnya. Hanya orang-orang dekatnya yang mungkin tahu jati dirinya, itu pun tak sepenuhnya. Ia seorang penyendiri yang sulit dimengerti. Tapi tidak suka berbelit-belit. Ia adalah seorang penyendiri yang riang, banyak kawan, dan gemar menertawakan kekonyolannya sendiri. Ia pernah mengatakan, bahwa hidup kita memerlukan pahlawan. Tapi pahlawan sejati menurutnya, adalah pahlawan yang tak dikenal. Lantaran yang dikenal itu, selalu digoda popularitas dan kebanggaan belaka. Dan baginya, dilihat dan disorot banyak orang itu tidak mengasikkan. Hidup tidak leluasa berbuat baik. Lantaran jika kebaikan itu tampak, rawan terjebak dalam kebanggaan. Dan kalau buruk sedikit saja, akan mendapat penghakiman yang berlebihan.
Nama Armaya sebagai nama pena, agaknya menjadi sebentuk upayanya menghindari popularitas. Dan hal itu ia pegang sampai akhir hayatnya. Padahal peran dan fungsinya sebagai seorang tokoh sastra dan budaya, tak terbantahkan sejarah. Terserah orang mau melihatnya dalam sejarah sastra nasional atau lokal. Lantaran wilayah hanya batas semu yang sesungguhnya tak pernah lepas dari banyak sekali kepentingan.
PERJALANAN YANG PANJANG
Ia lahir di Banyuwangi pada 10 Juni 1930. Tulisan-tulisan Armaya termuat di media-media berpengaruh dan bersejarah dalam perjalanan sastra Indonesia, yakni di Majalah Kisah, Berkala Siasat, Konfrontasi, Sastra, Indonesia Raya, Majalah Budaya (Yogyakarta), Koran Dwi Warna, (Surakarata), Koran Tribun Pemuda (Jakarata), Buletin Bendera Sastra (Bandung), dan lain-lain.
Suatu pagi, Armaya tiba di Surakarta. Selepas SMP, ia meneruskan pendidikan di SMK Santo Yosef, Surakarta. Lulus pada 1952. Armaya melanjutkan pendidikan ke Universitas Indonesia Jakarta pada fakultas hukum.
Di bangku SMK Santo Yosef, Surakarta, Armaya remaja berkawan karib dengan WS. Rendra. Waktu itu, tatkala didirikan Lembaga Seni Sastra, Armaya sebagai ketua wilayah Surakarta, WS. Rendra sebagai ketua wilayah Yogyakarta. Tulisan-tulisan sastra Armaya dimuat dalam Kisah, Gelanggang, dan Siasat yang diasuh HB. Jassin. Lalu di Koran Dwi Warna, pada kolom Sumbangsih yang diasuh DS. Moeljanto, kolom Simposium yang diasuh oleh Hartojo Andangdjaja bersama Mansur Samin. Dalam sejarah sastra Indonesia, nama-nama tokoh dan media cetak tersebut adalah tonggak-tonggak penting perjalanan sejarah sastra Indonesia modern.
Armaya pernah menjadi wartawan. Pada 1973-1978. Ia pernah bertugas sebagai Kepala Humas Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, Jambi. Di Jambi, ia bersastra. Tekun mengisi Ruang Sastra dan Ruang Ilmu dan Seni pada Radio Republik Indonesia (RRI) Jambi. Di situ, ia juga bekerja sebagai dosen Bahasa Indonesia pada IKIP Jambi dan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Jambi. Pada 1979-1986, ia bertugas di Bandung pada bidang Pendidikan Luar Sekolah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Armaya pensiun pada 1986. Pulang ke Banyuwangi pada sekitar 1987.
Di Banyuwangi sejak tahun 1987 itu, Armaya menerbitkan buku-buku dengan dana pribadinya. Hampir 500 judul buku yang telah ia terbitkan. Pada 1995, ia mendirikan Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB). Lembaga inilah yang kemudian menerbitkan buku-buku secara lokal dan nasional. Ketika menjadi sekretaris Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, ia menerbitkan Buletin Jejak Baiturrahman. Kemudian ia mengasuh teater pemuda masjid, menerbitkan Buletin Suara Hamba, lalu Buletin Baiturrahman. Menerbitkan antologi-antologi puisi para penyair Banyuwangi, menerbitkan Majalah Budaya Jejak, menerbitkan Lembaran Kebudayaan, dan buku-buku sastra dan sejarah lokal Banyuwangi. Nyaris 500 judul buku yang telah ia terbitkan dengan uang pribadinya. Belum lagi ia mendanai kegiatan-kegiatan seni dan budaya, kajian sejarah lokal, dan merehabilitasi situs bersejarah, yakni makam ibunda Sunan Giri, Sayu Atikah, di Giri, Banyuwangi pada 2003-2004.
Terbitan-terbitan Armaya melalui Yayasan Masjid Agung Baiturrahman dan PSBB, masih tersimpan dengan rapi di Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi yang digagas olehnya. Armaya pernah menggagas berdirinya pusat dokumentasi. Gagasan cerdas itu, ditangkap oleh empat orang mahasiswa Untag 1945 Banyuwangi. Kemudian keempat mahasiswa tersebut, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Mohammad Shodiq, Misbahul Munir, dan saya sendiri (Taufiq Wr. Hidayat) mendirikan Yayasan Pusat Dokumentasi Budaya Banyuwangi (PDBB). Yayasan ini diketuai Iwan Aziez Siswanto S., pendiriannya dibiayai alm. Bambang Purwanto, sekaligus menjadi Ketua Pengawas bersama Fatah Yasin Noor. Sedang Ketua Pembina Yayasan adalah Armaya. Dokumen-dokumen terbitan Armaya dan data-data kegiatan sastra dan budaya Banyuwangi yang berada di bank dokumen PDBB yang digagas Armaya tersebut, merupakan kekayaan intelektual Banyuwangi. Ini penting untuk dijaga, sehingga gerak kebudayaan Banyuwangi selalu dapat mengenali dirinya sendiri. Para peneliti tekstual Banyuwangi, banyak mencari data-data dokumen di perpustakaan PSBB dan bank data PDBB. Ini menjadi penanda, bahwa mengenali sastra dan budaya Banyuwangi tak lepas dari jasa Armaya.
AYAM DAN BURUNG,
KUCING DAN TIKUS,
DAN KISAH SEEKOR ANJING
Di halaman samping rumah Armaya, terdapat pohon kelor yang besar. Pernah kepada saya ia ceritakan, pohon kelor itu ditanam orangtuanya. Kedua orangtua Armaya adalah pendatang. Konon keduanya Madura. Seingat saya Armaya mengisahkan, dan semoga kisah ini tidak keliru. Dulu ibunya adalah seorang perantau dari Madura. Berhenti di Pantai Boom Banyuwangi. Dengan mengira-ngira, itu sekitar tahun 1917-an. Jauh sebelum kemerdekaan. Perempuan perantau itu bekerja sebagai pencuci piring di pelabuhan. Dan bapaknya adalah pedagang keliling. Mendasar sembako di depan sebuah toko sembako. Hingga pada akhirnya, toko sembako tersebut bangkrut. Pemiliknya berniat menjual toko. Tak diduga, si penjual sembako keliling dengan pikulan yang sering berjualan di teras toko tersebutlah yang membeli. Itu menakjubkan! Kegigihan dan hasil keringat yang---menurut Armaya, menjadi pandangan hidupnya kemudian hari. Orangtuanya menjadi pedagang berhasil, bertani, dan menyekolahkan Armaya sampai meraih Sarjana Hukum di Universitas Indonesia, Jakarta.
“Pohon kelor ini usianya lebih tua dari saya, karena ditanam oleh orangtua saya,” ujar Armaya suatu kali.
Di situ, Armaya memelihara binatang-binatang ternak. Memelihara ayam. Pertama hanya dua ekor. Lama-lama ayam-ayam itu banyak. Lalu kucing. Pertama dua ekor. Semakin hari, kucing-kucing menjadi belasan ekor. Lalu burung dara. Puluhan burung dara beterbangan di atap-atap rumahnya. Tiap pagi Armaya menebarkan biji-biji jagung dan sayur kangkung yang telah ia rajang kecil-kecil dengan pisau dapur di halaman samping rumahnya. Puluhan ekor ayam dan burung dara berebut biji-biji jagung dan potongan-potongan kangkung. Armaya dikeliling ayam dan burung-burung dara. Tiap pagi ia ke pasar dengan sepeda Suzuki RC80 Jet Cooled, keluaran tahun 1982. Sepeda tua itu selalu mengantarnya ke pasar dan ke masjid. Ke pasar berbelanja jagung, sayur kangkung, dan lain-lain. Semua adalah kebutuhan binatang-binatang peliharaannya. Itu ia kerjakan berpuluh-puluh tahun sejak pulang ke Banyuwangi sekitar 1987 sampai wafat. Ketika wafat, ia baru saja selesai memberi makan ayam-ayamnya di pagi hari.
Kucing-kucing. Ayam. Burung-burung dara. Dan kotoran-kotoran binatang itu yang tiap hari dibersihkannya. Tak banyak orang kerasan dengan bau kotoran binatang bila bertamu ke rumahnya. Tapi ia diam. Dan memaklumi.
Jika malam, ia meletakkan beras jagung atau sisa makanan di beberapa sudut ruang. Itu buat makanan tikus liar yang keluar masuk sembarangan ke dalam rumahnya. Tikus-tikus liar beranak pinak. Karena tiap malam dikasih makan.
Dikisahkan oleh Fatah Yasin Noor kepada saya perihal kisah Armaya dan seekor anjing. Kisah ini juga pernah diceritakan kepada saya. Kisah ini didapatkan Fatah Yasin Noor dari Armaya sekitar tahun 2000. Dan seingat saya, saya pernah mendengar kisah Armaya tersebut di tahun 2003.
Sahdan di tahun-tahun 90-an awal, di kampung terdapat seekor anjing liar yang kotor. Tiap kali Armaya ke masjid terdekat untuk mendirikan salat, dalam perjalanannya ia dicegat seekor anjing kotor. Armaya adalah orang yang tekun salat, ia muslim yang taat. Kecuali salat maghrib, isyak, dan subuh, ia tidak ke masjid. Selepas maghrib, ia membaca Surat Yasin dan menghatamkan Qur’an di rumahnya. Armaya mendirikan salat zduhur dan asyar-nya di masjid. Anjing kotor itu selalu muncul dari selokan dengan lidah terjulur kelaparan. Setiap selepas salat dzuhur dan asyar di masjid, Armaya menyiapkan makanan. Ia mendekati anjing selokan itu, memberinya makan. Lalu meninggalkannya. Begitulah setiap hari. Sampai bertahun-tahun. Anjing kotor itu seolah sengaja menunggu dengan setia di bawah selokan, menanti Armaya turun dari masjid. Dan Armaya melemparkan makanan ke selokan.
Anjing itu merasa begitu senang ketika melihat Armaya turun dari masjid. Ia akan mendapatkan makanan. Setelah bertahun-tahun, pada suatu senja, Armaya tidak ke masjid karena merasa tak enak badan. Anjing kotor itu mencari rumah Armaya. Berbekal penciumannya yang tajam, anjing tersebut berhasil menemukan Armaya. Anjing itu seakan mengerti, bahwa tuan baik yang selalu setia memberinya makan setiap hari sedang sakit. Anjing selokan itu ingin menjenguknya. Melihat anjing kotor memasuki perkampungan yang tak karib dengan anjing, bahkan mungkin menganggap anjing adalah binatang kotor dan berbahaya, beberapa orang kampung mengusir si anjing. Tapi anehnya, anjing kotor tersebut tidak mau pergi dari pintu rumah Armaya sebelum ia dapat melihat tuan baik yang selalu memberinya makan itu, meski beberapa orang kampung setempat memukulinya, ia hanya berkaing-kaing menahankan sakit. Beberapa orang terus memukulnya tanpa ampun, seseorang berhasil memukulnya keras-keras dengan lonjoran besi. Seketika anjing itu menjerit lantang sekali. Mulutnya berdarah. Kepalanya bocor. Anjing kotor itu perlahan menjauh dengan langkah yang berat, karena belum bisa melihat tuan baik yang didatanginya. Perlahan menjauh dari pintu. Dan lonjoran besi kembali mengenai kepalanya dengan lebih keras. Anjing selokan terkapar, matanya berkedip-kedip. Suara nafasnya terdengar sekarat dan memilukan, pelan-pelan hilang. Lalu tewas. Armaya baru tahu ada sedikit keributan di depan pintu rumahnya. Ia keluar. Ia melihat anjing kotor yang setiap hari diberinya makan dengan penuh kasih-sayang itu telah tewas, bangkainya diseret beberapa penduduk untuk dibuang ke sungai.
Suatu malam, ia mengisahkan kisah anjing itu kepada saya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Fatah Yasin Noor juga pernah mendengar cerita tersebut.
“Semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Dan semua punya hak untuk hidup. Kita jangan menyakiti makhluk Tuhan, meskipun kita tidak suka padanya,” kata Armaya.
YANG DIMAKAMKAN DENGAN KESEDERHANAAN,
YANG TAK USAI DIKENANGKAN
Armaya selalu mengisi hidupnya dengan kesendirian. Memelihara ayam, kucing, burung, dan entah hewan apa lagi. Pembaca yang baik. Dan pendengar yang sangat perhatian pada lawan bicaranya. Kamarnya penuh buku-buku dan dokumen-dokumen sastra, sejarah, dan manuskrip-manuskrip. Tempat tidurnya tinggal setengah meter, lantaran ruang dan kasurnya dipenuhi tumpukan buku-buku. Ada tiga kamar di ruangan pribadinya. Dan di dalam ketiga ruangan tersebut, buku-buku penuh, bahkan buku-buku bertumpuk sampai menyentuh langit-langit ruangan. Ia begitu hikmat di dalam kesunyian dan kesendirian.
Sebelum ia dimakamkan, ia telah memakamkan dirinya sendiri. Hal itu pernah ia sampaikan kepada saya pada suatu malam. Armaya mengatakan, dirinya sangat mengagumi dan memegang sebuah ungkapan dalam kitab al-Hikam karya mashur Ibnu Athailllah. Ungkapan yang dimaksud Armaya tersebut adalah sebagai berikut:
إِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِي أَرْضِ اْلخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَايَتِمُّ نِتَاجُهُ
“Kuburkanlah wujudmu sedalam-dalamnya di atas bumi rendah yang tak bernama, bumi samar yang tak dikenali. Lantaran setiap yang tumbuh tanpa dikubur dalam-dalam, hanya kedangkalan dan ketaksempurnaan.”
Ungkapan mashur dalam kitab al-Hikam ini, ialah sebentuk komitmen dan kesetiaan berbuat kebaikan dengan upaya untuk menolak atau menghindar dari segala pengakuan dan pengharapan kepada makhluk. “Bumi rendah tak bernama, samar, tak dikenali, dan tanpa jejak” ialah bumi, yang di atas bumi itu, ketenaran dan tepuk tangan tak berlaku, dan sama sekali tak ada. Bumi yang samar dan tak berbekas. Tak ada jejak yang perlu ditinggalkan, selain kebaikan dan pengabdian yang tak perlu dimonumenkan. Biar hilang tinggal kenangan. Mengubur diri sedalam-dalamnya di atas bumi rendah, bumi samar yang tak bernama itu, ialah upaya untuk menghindari ketenaran dan pengakuan juga tak menempuh segala yang akan menyebabkannya. Jika pun terpaksa terkenal, ia tetap memendam dirinya, yang dalam istilah Islam disebut “tawaduk”, yakni rendah hati, dan tak memandang posisi serta pencapaiannya adalah sesuatu yang besar, apalagi dibesar-besarkan.
Armaya memegang nilai itu. Ia menguburkan dirinya di atas bumi rendah yang tak bernama. Jauh sebelum ia wafat. Sehingga tumbuhlah ia sebagai mawar yang menakjubkan dengan warna dan wanginya. Dan hanya mereka yang kembara dan mencari, dapat menemukan keindahan warna mawar itu, dan menghirup aroma wanginya yang menakjubkan. Meski mawar itu telah tiada, musnah ditelan kefanaan, namun wanginya dan warnaya terus terkenang di dalam ingatan mereka yang mencari. Lantaran angin dari arah sana, dengan tenang senantiasa setia menghembuskan aroma wanginya yang menakjubkan pada semesta raya.
Muncar, 2022
Tesis MONICA FRENSIA M. F., Dr. Sri Margana, M.Phil
Foto oleh: A Rahmatulloh John
0 Komentar