TUJUH EKOR KUDA
Pertanyaan "siapakah saya?" tergolong pertanyaan berat. Apalagi dalam perspektif filsafat dan agama. Pertanyaan itu terkait perkara eksistensi yang pelik, penting, tidak penting, berguna, tak berguna, bahkan absurd. Tidak mudah menjawab "siapakah saya?", bahkan oleh saya sendiri, apalagi oleh orang lain atau kambing saya. Tetapi, orang lain, kambing, benda-benda, apa pun di sekitar saya dan yang saya punya dapat jadi sebentuk peta perihal "siapa saya".
Ada orang bilang, eksistensi itu tidak penting. Yang terpenting "apakah Anda bisa memfungsikan diri dengan tanggungjawab manusiawi menurut posisi Anda dalam kehidupan sehari-hari?". Nah ini juga pertanyaan tidak ringan, perlu dijawab dengan aksi dan bukti. Bukan retorika dan pembelaan diri yang 'muter-muter' ke sana kemari dengan adagium mutakhir yang bersabda: "yang penting eksis".
Saya bersedih, secara mutakhir ternyata saya tak punya eksistensi. Manusia instan yang tak semaksimal mungkin memfungsikan diri di tengah kehidupan, tetapi ingin, merasa punya, dan diakui eksistensi dirinya. Seperti anak kecil yang melompat-lompat merasa dirinya seorang Batman atau Naruto. Setidaknya Don Quixote dalam karya Carventes menggambarkan sosok 'pahlawan jadi-jadian' menurut apa yang dikhayalkannya. Sehingga dengan gagah berani Don Quixote mengangkat pedang berperang melawan baling-baling kincir angin. Dia membayangkan kincir angin itu makhluk jahat yang akan menghancurkan bumi. Maka, sang pahlawan harus menghalanginya demi kebenaran dan keadilan.
Tak ada yang bisa mengutuk Don Quixote, kalau kita hadapkan ia pada Jean Paul Sartre: "human is condemmed to be free!"
Tetapi, bagi yang benar-benar memfungsikan diri secara bertanggungjawab dalam segala posisi alamiahnya sebagai manusia, ia tak bingung ingin dan diakui eksistensinya. Air yang dijatuhi batu tak pernah tersinggung terhadap batu, sehingga tidak lalu ingin jadi batu atau menghancurkannya. Kalau air ingin jadi batu atau menghancurkan batu karena batu telah menjatuhinya, segera hal itu menjadi lucu. Jangan ditertawakan. Tapi, kasihanilah. Karena betapa repotnya hidup yang ia jalani.
"Siapakah saya?" Ini perkara serius yang jenaka. Setidaknya bagi saya. Segera akan menjadi kejenakaan kita setelah kita ikuti kisah Nasrudin yang termasyhur itu.
*
Pagi itu Nasrudin akan membawa enam ekor kuda ke pasar hewan. Seekor kuda ia naiki. Lalu, ia menghitung kuda-kudanya. Nasrudin kaget, kenapa kudanya tinggal lima? Ia turun dari seekor kuda yang ditungganginya itu, kemudian ia menghitung lagi. Kali ini kuda-kuda Nasrudin genap berjumlah enam ekor. Syukurlah tidak ada kuda yang hilang, pikirnya. Nasrudin kembali naik ke punggung seekor kudanya. Ia menghitung lagi kuda-kudanya. "Satu, dua, tiga, empat, lima. Lho kok kembali hilang satu?" ujar Nasrudin bingung.
Nasrudin dengan serius menyampaikan perkara aneh itu pada kawannya.
"Apa yang terjadi? Kuda-kudaku berjumlah enam, tapi setelah saya naik ke salah satu kuda saya, kenapa kuda itu tinggal lima? Yang satu mana, kok hilang?" tanya Nasrudin.
Kawannya menjawab dengan tenang dan cerdas.
"Sebenarnya kuda-kudamu itu berjumlah tujuh ekor, Bung!" ujar kawan Nasrudin.
"Jangan bercanda! Lho kok bisa?" tanya Nasrudin tambah bingung.
"Ini lima ekor, yang seekor kamu tunggangi. Dan yang seekor lagi, kamu sendiri!" jawab kawan Nasrudin kepingkel-pingkel.
*
Kisah Nasrudin berlanjut. Di warung makan, Nasrudin makan bersama tiga orang kawannya, seorang di antaranya adalah orang kaya. Ketika makan selesai dan mau bayar makanan, Nasrudin dan dua orang kawannya yang sama-sama miskin saling pandang, saling melempar isyarat mata tentang siapa yang akan membayar makanan. Sedang salah seorang kawannya yang kaya tapi kikir itu, tenang-tenang saja.
"Siapa yang bayar semua makanan-makanan ini?" tanya Nasrudin.
Kawan yang kaya segera menjawab: "Agama mengajarkan kita adil, mari kita bayar masing-masing, tapi uangnya dijadikan satu," jawab seorang kawan yang kaya itu.
Nasrudin dan dua kawannya yang miskin memekik bersamaan: "Apa?"
Dapat dibayangkan bagaimana nasib buruk Nasrudin dan dua kawannya yang miskin tak bawa uang di warung makan itu. Kekikiran memang menjengkelkan dan bukan "al-islam" (keselamatan).
*
"Nasrudin, kenapa kamu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?" tanya kawannya.
"Apa iya?" jawab Nasrudin.
*
Utusan Tuhan selalu menyampaikan ancaman Tuhan bagi manusia yang tak menyadari diri dan ingkar siapa dirinya. Yang dalam teks suci disebut "munafik" atau orang yang "kufur". Dalam kenyataan kita, ada orang pandai berpura-pura tolol. Orang tolol berpura-pura pandai. Orang miskin berpura-pura kaya, dan orang kaya berpura-pura miskin. Lalu, siapakah saya? Dan apa gunanya saya?
Tuhan hanya mungkin dicapai oleh hati yang tulus, bersungguh-sungguh, apa adanya, asli, tak berpura-pura. Dalam kepura-puraan tak ada kedamaian, tak ada surga. Adanya hanyalah neraka tipu daya dan kesenjangan hidup.
---Taufiq Wr. Hidayat---
Muncar, 2016
0 Komentar