RASA SAKIT


RASA SAKIT


    Lalu apa rasa sakit? Rasa sakit tak lain hanyalah sebutan di dalam bahasa. Sesuatu yang sesungguhnya tak lazim dan tak semestinya, ia kemudian disebut rasa sakit. Kalau orang biasa makan, lalu tidak makan, ia merasa sakit. Yang semestinya diterima, justru ditolak, ia tersakiti. Kalau orang mengurai perihal sakit atau rasa sakit, saya kira ia masih terjebak pada kulit saja. Lantaran sejatinya rasa sakit itu tidak ada. Yang ada hanya rasa "tidak sakit" atau bahagia. Sakit hanyalah suatu keadaan yang tidak wajar, dan segala yang tidak wajar adalah kesemestian dalam kefanaan. Sakit bukan eksistensi sifat. Ia hanyalah keadaan yang tidak nyaman, sehingga disebut sakit atau menderita. Sakit sejati menyatu dalam eksistensi ketidak-sakitan atau kenyamanan, bagian yang sesungguhnya timbul tenggelam atau sementara. Sakit itu seperti kegelapan, tidak eksis. Yang eksis adalah cahaya. Lalu gelap adalah suatu keadaan di mana tak ada cahaya di situ. Sama dengan rasa sakit. Sejatinya, jika diselami dengan humanisme ketuhanan, rasa sakit itu tidak ada. Kalau ada orang yang merasa sakit, entah sakit hati atau sakit yang lain, ia masih terjebak kulit, dangkal, dan mempersoalkan yang sesungguhnya tidak punya eksistensi. Terlalu teknis. Dan sibuk dalam kesia-siaan. Lantaran di dalam penerimaan, rasa sakit itu sirna. Karena memang sakit itu tidak nyata atau tidak ada.


    Seseorang selalu tak terlepas dari pertanyaan tentang dirinya. Ia bertanya dan mencari penjelasan atasnya. Dengan demikian, manusia mengada dalam ada (realitas).


    "Ada" (realitas) tak selalu membuka rahasia dirinya. "Ada" tidak bisa dikuak dengan subyek. Sebab "ada" terdiri dari keutuhan eksistensi subyek dan obyek. Sehingga ia (ada) senantiasa suatu kemungkinan, kemungkinan ada dan kemungkinan tiada. Begitu pula ilmu yang mengungkapkan "ada", pun merupa kemungkinan, yakni mungkin ada atau sebaliknya. Dalam "Being and Time", Heidegger menahbiskan perihal "kemungkinan" itu.


    Sejatinya kehidupan berjalan atas kemungkinan-kemungkinan. Dalam teks suci disebut "qudrat-iradat", yang tak terjangkau kemeng-ada-annya, namun pasti. Bagi Heidegger, segala kemungkinan tersebut bersarang dalam diri manusia. Manusia selalu berdiri di persimpangan antara kemungkinan dari manifestasi sesuatu dan ketidakmanifestasian sesuatu. Manusia tak berkuasa atasnya. Tak bertitah di atas segala "ada". Melainkan manusia, tak lain, hanyalah penjaga atau menggembalakan segala "ada" termasuk ke-“ada”-an dirinya sendiri.


    Manusia yang menginterpretasi (memikirkan) pun yang diinterpretasi (dipikirkan). Berpikir bukanlah memvisualisasikan apa yang ada atau bukan pula refleksi, melainkan mempertanyakan, mencari penjelasan, dan mendengarkan dengan rendah hati tentang "ada" yang menguakkan ke-“ada”-annya. Manusia pun bercakap-cakap: berbahasa.


    Dengan bahasa itulah, seseorang menunjukkan "ada" dirinya. Penyingkapan "ada" memerlukan bahasa, dan bahasa membutuhkan penyingkapan. Keduanya saling membutuhkan. Sebentuk pengaktualan kembali dari apa yang pernah Descartes kemukakan perihal "ada", yg kemudian menjadi “bahan baku” rasionalitas barat.


    Dalam teks suci, Tuhan bersabda: "khalaqal insana 'allamahul bayan" (menciptakan manusia dan mengajarinya berbahasa). Manusia pun berada pada posisi subyek dan obyek tak terpisah, mengadalah ia dengan bahasa.


    Realitas yang tak ada menjadi ada dalam tiadanya, diperbincangkan dan dinanti-nantikan. Padahal sejatinya ia berada dalam diri manusia sendiri sebagai yang berpikir dan yang dipikirkan. Setidaknya Beckett menengarai dalam "Waiting for Godot"-nya yang masyhur. Ketika sepenuhnya seseorang bergantung pada realitas yang tak ada yang hanya diandaikan, apalagi dikhayalkan, maka absurdlah ia. Itulah karenanya, Tuhan menganjurkan manusia mesti bergantung pada potensi kemanusiaannya yang sejati, "allahu shomad" (Allah tempat bergantung), yang bermakna manusia mestilah aktif dalam melakukan perubahan dan merupakan gerak perubahan itu sendiri. Sampai kapan pun, realitas apel tak akan secara ajaib berubah menjadi pisang lantaran kita sebut bahkan kita anggap ia pisang.


    Gambaran-gambaran yang cukup musykil sekalipun, sejatinya sederhana: seseorang harus mengaktualkan diri dan meyakini suatu sikap serta pilihan hidup yang benar menurut apa yang diyakininya. Sederhana memang, tetapi tak dapat diremehkan dengan cuma disederhanakan.


    Realitas memang tak sederhana. Meskipun ia sebenarnya sederhana. Setelah diciptakan, maka Tuhan pun mengajarkan nama-nama (realitas) itu kepada  Adam. "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (realitas) seluruhnya..." (QS. al-Baqarah: 31). Bahwa manusia ialah yang berpikir dan dipikirkan.


    Ajaran Islam beresensi pada Tauhid, yakni keesaan-Nya. Dia memang tak di sana, pun tak di sini. Ia di sini pun di sana, di luar pun di dalam. Sifat pemurahnya integral dengan sifat-sifat-Nya yang lain. Dalam al-Malik (penguasa) yang tak tersamai dan mutlak kuasa-Nya itu, ada as-Syakur (terima kasih) yang menunjukkan kerendahan hati-Nya terhadap diri-Nya sendiri yang mahameliputi. "Aku menurut prasangka hamba-Ku," sabda-Nya. Begitu paradok namun sedemikian esa (utuh). Allah bersyukur dengan menciptakan dan memberi hidup pada makhluk. Bisakah kita bersyukur melalui orang lain atau makhluk lain? Jika tidak, maka sesungguhnya kita sedang dalam kekufuran.


    Dalam Hadits Qudsi, Tuhan bersabda bahwa jika yang lapar adalah makhluk, sejatinya Dia yang lapar. Sehingga teks-teks suci senantiasa mewajibkan manusia untuk berbagi, meringankan, bahkan mengentaskan derita sesama. Dalam ajaran Islam, kesungguhan mengentaskan derita sesama dan berbagi rejeki (kenikmatan/kebahagiaan) adalah ukuran vital keimanan atau kebertuhanan seseorang. "Tak beriman seseorang yang kenyang tapi tetangganya lapar sedang ia mengetahui," tegas Muhammad sang utusan.


    Hubungan dua arah antara miskin dan kaya, dalam hal ini, digambarkan sedemikian tegasnya. Agar tak terjadi keterasingan yang, bagi Karl Marx, cuma mengandaikan manusia pada ukuran materi dan pekerjaan (status belaka). AA. Navis mengisahkan para ahli ibadah yang tak diperkenankan masuk surga lantaran membiarkan penderitaan sesama dan kerusakan terjadi di dunia.


    Bukankah dengan demikian, dunia adalah vital sebagai penyelenggaraan pelbagai gerak dan upaya kemanusiaan guna mencapai perkenan-Nya yang agung? Seyogianya kita tidak mengabaikannya.


---Taufiq Wr. Hidayat---


2022

 

0 Komentar