YANG DITELAN KESIBUKAN
Taufiq Wr. Hidayat
Dalam catatan-catatan kuno, konon al-Ghazali itu sangat sibuk dalam hidupnya. Beliau menjadi guru besar di universitas kuno Irak, sebelumnya ia seorang pengembara pemburu ilmu pengetahuan, sehari-hari sibuk sebagai pedagang. Saking sibuknya berdagang, beliau malah berhasil menulis sebuah buku masyhur tentang perdagangan dengan detail berjudul "Etika".
Betapa sibuknya al-Ghazali, tapi tak sedikit pun kesibukan itu merampas waktunya menyapa sahabatnya, menulis kitab, dan membalas surat-surat. Dunia keilmuan Islam mencatat buku-buku tebal berkualitas dan masyhur karya al-Ghazali yang jumlahnya sangat menakjubkan. Alangkah produktifnya!
Seseorang pernah bertanya kepada al-Ghazali perihal kesibukannya.
"Bagaimana mungkin Tuan menulis buku hingga ratusan bab dan ratusan judul itu, menyapa kawan dan saudara, membalas surat-surat, bahkan sekadar menyandarkan bahu mengamati bintang-bintang di tengah kesibukan Tuan sebagai guru, pejalan, dan pedagang?"
"Berikanlah dirimu kepada kesibukan hidup ini, bahkan kalau kurang sibuk, bersibuklah. Tapi, jangan kau berikan hatimu kepada kesibukan itu. Hatimu hanya buat Tuhan. Karena hatimu menjadi rumah-Nya, jangankan melayani keluarga dan menyapa kawan atau berpikir, bahkan seekor semut pun tak akan lepas dari perhatianmu yang seksama," jawab al-Ghazali.
***
Dalam buku kuno karya al-Ghazali bertitel "Munqidz min al-Dhalal" (Penyelamat Ketersesatan), ia mengurai betapa niscaya nya kesibukan masing-masing orang dan juga golongan yang larut dalam kesibukannya sendiri. Tanpa menghikmatinya, kesibukan yang menguasai seseorang/kelompok akan menciptakan ketersesatan. Pembukaan kitab kuno yang masyhur itu menukilkan dengan manis sepotong ayat dalam Surat al-Mu'minun: 53, bahwa tiap manusia terbelah dan larut asyik dengan dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri.
Bagi al-Ghazali, kesibukan yang tak menyisakan secuil pun waktu di tengah laju kesibukan tersebut, membuat manusia bukan lagi manusia. Manusia super sibuk bagai kera, jika karena kesibukannya itu telah membuatnya mengabaikan hari Sabat, perjanjian kemanusiaan yang suci (QS. al-Baqarah 65). Ia lupa kepada Tuhannya, meremehkan sekelilingnya, hilang ketajaman pikirnya dan musnahlah kehalusan rasa.
Betapapun sibuknya, hati bukanlah mesin. Ia perlu jeda yang ajeg untuk nilai ketuhanan, ialah nilai kemanusiaan. Bertegur sapa, melayani dan merasakan denyut kehidupan yang beraneka ragam dengan kepekaan rasa. Tidak tertutup bagai pintu besi yang keras. Yang larut lalu diperbudak kesibukan akan menjadi mesin tanpa perasaan, hilang jati diri kemanusiaan dan musnahlah kepedulian, hati goncang diserang waktu dan keniscayaan dari tiap-tiap perubahan (QS. an-Nur 37).
***
Ada istilah Jawa yang menarik: "sawang sinawang". Makna istilah "sawang sinawang" dari kearifan leluhur Jawa itu, tak lain agar kita tak membanding-bandingkan kebahagiaan dan tak membanding-bandingkan penderitaan. Bukan berat atau ringan, besar atau kecil suatu kebahagiaan atau penderitaan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana dapat melewatinya dengan baik tanpa kehilangan akal sehat.
Berat bagi seseorang, boleh jadi sangat ringan bagi seseorang yang lain. Tapi, ringan bagi saya, boleh jadi berat bagi orang lain. Dan sebaliknya.
Istilah "sawang sinawang" pun bermakna kearifan untuk tak membanding-bandingkan diri atau pencapaian diri. Tetapi, lebih pada menasehati diri sendiri untuk menghayati pengalaman orang lain dan menyadari kapasitas tiap-tiap orang yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya, sehingga muncul kebersamaan, persaudaraan dan pengertian kemanusiaan.
Kebahagiaan, katanya, bukan sebentuk rencana yang dirancang-rancang, bukan pula sesuatu yang wajib diwujudkan. Tapi, kebahagiaan bagaikan detak jantung, tinggal bagaimana kita menyadari kedatangan dan posisinya dalam diri, juga denyutnya yang harmonis dan terus-menerus. Ia reflek dan rileks, bagai air yang mengaliri segala peristiwa, kondisi atau penjelmaan baru dari suatu perubahan dan pergantian-pergantian. Kebahagiaan mesti terus terpelihara walaupun pasang-surut, antara kenang dan hilang.
Kebahagiaan bukanlah susunan sesuatu yang dirancang dalam kebelum-kenyataan, tapi diwajibkan menjadi keterwujudan. Sehingga dikejar-kejar bagai mengejar bayang-bayang.
Kewajaran diri yang orisinil dan mengada adalah 'modal' utama merasakan kebahagiaan daripada berupaya mati-matian supaya menjadi bahagia dengan konstruksi gagasan dalam pengandaian-pengandaian, bahkan terhadap diri sendiri. Segalanya dalam kehidupan ini berada dalam keterhubungan dan keterkaitan yang niscaya. Memang demikianlah hukum alam (sunnatullah).
Seorang penyair kuno mendesah; "di manakah aku di tengah semua ini?"
Manusia mutakhir kehilangan dirinya. Begitu juga manusia jaman batu (jahiliyah), pun sibuk semutlak-mutlaknya dengan kesibukannya sendiri, ia pun kehilangan dirinya. Hilanglah Tuhannya. Disembahlah berhala.
0 Komentar