Mas Taufiq Wr. Hidayat.

   



 Tatkala benar dan salah begitu kabur dalam waktu, kepercayaan hanya tahayul. Tapi dengan instingnya, manusia menjelma makhluk jenius yang misterius. Ia mempermainkan salah dan benar. Pada saat bersamaan, realitas memang tak bisa diandaikan belaka hitam-putih, salah-benar, baik-buruk. Ia lebih rumit dan muskil. Serumit hasrat dan kehendak yang selalu siap sedia. Ia menempuh cara apa saja dan bersiap pada segala resikonya. Namun insting pula yang membuat ia berkelit dan menghindar. Dan akal manusia—dalam pada itu, tak pernah tertandingi. Kecemburuan, ujar Catherine Tramel dalam "Basic Instinct" (1992 & 2006), menyebabkan siapa pun---dengan status apa pun, melakukan apa pun. Pelampiasan yang celaka. Tapi kita membawa cemburu tiap hari dan ke mana pun pergi. Dalam film yang berkisah perihal psikoanalisa itu, seks dan kematian adalah dua hal yang selalu karib dalam kehidupan manusia. 

    Bagi Catherine Tramel dalam "Basic Instinct", kematian dapat dilupakan. Tapi seks bagai mengekalkan. Sukar dilupakan. Pun enggan dihentikan. Keduanya menjadi sebentuk memorabilia. Hasrat seks dan penguasaan pada tubuh sukar dibedakan. Sumber banalitas itu, sejatinya persepsi atas tubuh yang dibakar insting dasar. Bahkan tak hanya dalam film, penikmat film pun akan menghentikan sejenak adegan saat Sharon Stone yang liar dengan rok pendek itu menyilangkan kakinya yang mulus dan putih. Setelah perempuan berbibir liar itu mengatakan tak mengenakan celana dalam. Atau ketika ia telanjang bulat---dengan aksi menatap nakal pada penontonnya amat jenak sekali, lalu membenamkan tubuhnya yang bugil dalam bak mandi yang hangat. Naluri menjelma dalam khayalan dengan keinginan yang tertekan, tatkala naluri tersebut dikekang dan diringkus keharusan-keharusan. 

    Tapi yang tak sedetik pun lengah mencari celah melepaskan diri. Menjadi liar, nakal, ganjil, misterius. Dan keji. Dalam relasi intersubyektif---katanya, tak bisa dibedakan lagi antara dokter dan pasiennya, antara kebenaran dan kebohongan. Insting purba manusia yang tak punah, konsisten seperti semula, mengiringi dan mendenyut hidup pada jatuh-bangun peradaban. Kemudian harapan menyeruak kabut. Ia melampaui naluri. Ia terbentuk dari keterasingan. Keterasingan yang membangun kesadaran, bagaimana pun itu, sebagai sesosok manusia yang meski pada banyak sisi tak berbeda dengan hewan bertulang belakang.


0 Komentar