PAHLAWAN BEJO

PAHLAWAN BEJO

Apakah pahlawan itu ada? Dalam kehidupan sehari-hari, tak lazim manusia berkorban tulus demi kepentingan bangsa atau orang banyak yang kemudian kita sebut pahlawan. Barangkali pahlawan memang bertempat tinggal dalam dongeng. Mitos. Atau bualan. Tetapi pahlawan harus ada. Entah dimunculkan oleh siapa.


“Alangkah malangnya sebuah negeri yang tak memiliki seorang pun pahlawan,” kata seseorang pada Galileo Galiliei dalam drama Bertold Brecht, "Leben des Galilei".

Galileo tak setuju.


“Oh tidak! Justru negeri yang malang adalah negeri yang selalu membutuhkan pahlawan.”

Bertolt Brecht, sang Marxis itu, menyebut dramanya "Instrument der Aufklärung" di tengah khalnayak. Pencerahan yang menyadarkan. Bukan menenggelamkan. Nama-nama pahlawan dimunculkan---meminjam istilah Brecht, supaya terbangun kesadaran terhadap kehidupan. Terhadap realitas setempat. Semakin banyak pahlawan diangkat oleh kekuasaan, semakin rendah sesungguhnya kesadaran suatu bangsa. Orang lalu memuja-muja sang pahlawan dengan gelora romantisme yang terkesan gombal. Seraya melupakan realitas setempat "yang tak berdaya". Orang mabuk bagai kena pengaruh alkohol. Mengharu biru. Sembari mengenang kemalangan hidup yang sukar dientaskan.


Namun barangkali kemerdekaan suatu bangsa, memang tak lengkap tanpa pahlawan yang disebut-sebut berjasa. Lantaran tak banyak orang sadar untuk jadi pahlawan atau yang berjasa itu. Tapi apa setelah merdeka? Masih adakah pahlawan itu?


Pertanyaan itu agaknya mengusik Putu Wijaya. Ia menulis cerita "Merdeka" (2000). Sahdan seorang bayi lahir tepat tanggal 17 Agustus. Itu tanggal keramat, yakni tanggal tepat Indonesia merdeka. Bapak sang bayi adalah mantan veteran perang kemerdekaan, ia menamai anaknya dengan nama: Merdeka. Ia berharap anaknya menjadi pahlawan. Pahlawan yang memerdekakan, berbakti kepada ibu pertiwi, mengabdi pada rakyat dan negara, semerbak harum sebagai kusuma bangsa. Tapi apa terjadi? Merdeka tumbuh dewasa dengan kejeniusan yang langka. Ia pemberani. Justru karena kejeniusan dan keberaniannya menentang ketidakadilan, Merdeka hidup tanpa ijazah. Hidupnya selalu sial karena Merdeka sangat mencintai, membela, menegakkan kebenaran dan keadilan. Merdeka ditolak oleh bapak dari seorang gadis yang dilamarnya karena Merdeka tak punya pekerjaan, miskin, meski pembela kebenaran dan keadilan.


Merdeka sadar hidupnya penuh sial. Dia menemui dukun. Dukun mengatakan agar Merdeka merubah namanya. Nama Merdeka itulah penyebab utama semua kesialan hidupnya. Agaknya Putu Wijaya tak percaya pada kata "merdeka" yang berupa simbol dan penanda. Kemerdekaan hanya sebuah formalitas politik. Tetapi ia tetap dibutuhkan entah buat apa. Dan pahlawan. Pahlawan cuma tumbal dari kehidupan yang sesungguhnya malang. Tak banyak orang yang menikmati kata "merdeka", lantaran bagi Putu Wijaya---dengan cerita "Merdeka"-nya itu, merdeka tak lain adalah beban. Beban yang amat berat. Sangat berat. Itu berlaku bagi siapa saja yang jujur dan sadar atas kata tersebut. Tak berlaku bagi yang tak jujur. Sehingga siapa mau sengsara? Merdeka adalah kesengsaraan. Ia memburu kenikmatan batin yang kekal. Tak banyak orang mau atau sanggup menemukan dan merasakan nikmat dalam penderitaan. Merdeka tanpa kesadaran, tak ubahnya keterjajahan di tengah apa yang dinamakan kemerdekaan. Bukankah itu ironi? Merdeka ialah jalan panjang tanpa ujung; "long walk to freedom," ujar Mandela.


Apakah pahlawan sejati itu tak dikenal? Tak penting apa nyanyian, tapi siapa yang bisa menyanyikan nyanyian. Dalam film "The Singer Not The Song" (1961) dikisahkan seorang pemuka agama mengkhotbahi bandit. Si bandit tak mau bertobat memeluk agama, tetap tak percaya kitab suci. Ketika pemuka agama tersebut rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan cuma nyawa seorang bandit, si bandit terketuk memeluk agama dan beriman pada kitab suci. Ia sadar bukan oleh khotbah-khotbah gombal sang pemuka agama itu, melainkan ia sadar karena keteguhan dan pengorbanan sang pemuka agama tersebut yang rela mengorbankan diri cuma demi keselamatan seorang bandit bejat sepertinya. Agama juga kemerdekaan, tanpa keteladanan hanya deretan janji atau ancaman yang tak pernah terbukti menyelamatkan kehidupan atau menyejahterakan manusia.


Manusia baik? Agaknya tak ada! Yang ada ialah yang menetapkan diri dalam kebaikan. Tak ada pahlawan, pikir Kubrick, sang sutradara perfeksionis itu. Yang ada cuma manusia yang mempertahankan hidup, harta, dan orang-orangnya sekuat tenaga. Atau mengalami dehumanisasi karena rutinitas dan kesepian. Dalam “The Shinning” yang legendaris, tampaknya Stanley Kubrick tak percaya pada kepahlawanan. Ia mempercayai yang tercampak dalam ironi. Manusia yang menganggap nilai-nilai tidak penting bukan karena ia tak "memakai" nilai, melainkan ia "si jagoan nilai" itu sendiri. Bagai pemeluk agama yang memperlakukan agama biasa-biasa saja, bukan jiwa kemanusiaan yang suci, lantaran sudah terbiasa dengan agama beserta segala ritusnya. Agama juga peringatan hari kemerdekaan, mirip rutinitas jadwal kerja di perkantoran, atau jam rutin gosok gigi.


Dalam "Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma", Idrus agaknya tak terlalu menaruh hormat sama sosok yang disebut pahlawan. Dalam sastranya yang mashur, ia mengisahkan para pahlawan yang konyol, congkak, dan arogan. Idrus, sang sastrawan agung Indonesia itu, melihat sejarah dengan apa adanya. Bukan pemujaan gombal yang melumpuhkan kesadaran kemanusiaan. Bukan kesatria kesiangan sebagaimana Don Quixote dalam Cervantes. Agaknya ia mengajak mencintai negeri dengan sikap wajar sebagai manusia, dengan segenap bakti yang jujur dan tulus bagi kehidupan. Kita memerlukan manusia, barangkali terserah ia bernama pahlawan atau bakul tempe. Kehebatannya terletak pada sikap dan perilakunya sebagai manusia yang kokoh dan berintegritas dalam kehidupan sehari-hari. Bukan pada nama dan posisinya. Pengertian yang cukup wajar dan lazim, bukan?


Mengenang kembali film tahun 90-an garapan aktor dan sutradara legendaris Clint Eastwood, cukup menarik. Dalam "Unforgiven", Eastwood berperan sebagai koboi tua yang sudah lama bertobat dari dunia kejahatan. Tatkala istrinya, yang membuatnya bertobat, meninggal. Ia mengasuh dua orang anaknya sendirian. Duda tua, mantan pembunuh berdarah dingin. Ia perlu uang demi menghidupi kedua anaknya, mengantarkannya ke masa depan. Sepeninggal sang istri, peternakannya jatuh. Untuk mendapatkan uang besar demi hidup dan masa depan anak-anaknya itu, sang koboi tua terpaksa harus kembali ke dunia kejam dengan mengikuti sayembara berhadiah ribuan dollar. Sayembara membunuh dua orang koboi jahat yang telah meninggalkan jejak dendam di hati para perempuan malam. Si koboi tua yang tak lagi pandai menembak itu, bahkan menaiki punggung kudanya saja selalu terjatuh, harus melawan dua koboi gagah, hebat, terampil, dan beringas.


Film garapan Eastwood itu menarik dengan visualisasi yang puitis, diawali dan diakhiri musik lamban yang menghanyutkan ingatan: "Claudia's Theme". Koboi tua itu menampakkan wajah kejamnya, ia masih tampak sangar dengan usia yang udzur, sehingga ditakuti orang, membuatnya tak perlu menguras tenaga memuntahkan peluru. Koboi tua itu tak hendak menjadi pahlawan. Kepahlawanan baginya cuma omong kosong. Dalam pertarungan, yang ada hanya benturan kepentingan. Tak ada kepahlawanan, bahkan tidak agama. Yang kuat akan menang. Yang lemah, apa boleh buat; kalah. Dalam film "Unforgiven", hukum rimba dalam kontak fisik memang tak berlaku. Kemenangan bukan pada kecepatan mencabut pistol, kegagahan, kekuatan. Tetapi nyali. Keberanian, sedikit keberuntungan, dan semangat bertahan hidup atau membela diri membuat koboi tua yang lambat dan lemah itu menumbangkan koboi kuat, sombong, dan beringas di kota Big Whiskey. Tentunya setelah ia dipengaruhi beberapa botol anggur yang membangkitkan keberanian purbanya.


"Comedy isn't necessarily all dialogue," ujar Eastwood. Tapi soal waktu, ketepatan, dan keadaan. Seperti juga komedi, kemenangan pun soal waktu, ketepatan, dan keadaan yang terjalin sempurna dalam sedikit keberuntungan.


Manusia ingin dihibur dan menghibur. Ia menyimpan kepedihan dan kesunyian diam-diam. Orang yang berbahagia, tak merampas kebahagiaan sesamanya, tak menari-nari di atas luka orang lain seperti sering didendangkan lagu dangdut. Ia hanya memerlukan nyali, sedikit keberuntungan, dan harapan. Ia pun kokoh. Dan para badut, akhirnya akan selesai bermain. Ada ketersiksaan lantaran menyembunyikan kepedihan dibalik perannya yang tak pernah jujur pada kenyataan. Panggung akan ditutup. Akan ada adegan lain dari waktu dan cerita yang lain lagi. Badut pun berlalu menurut musim, batasan peran, waktu, dan tentunya, tergantung pihak-pihak sponsor.


Bukan hanya Idrus yang mencemooh pahlawan dalam sastranya, Danarto pun mengolok, bahwa perang dan politiklah yang harus atau merasa wajib, menciptakan pahlawan yang gugur sebagai bunga bangsa. Agar kemerdekaan dapat diraih dan diwujudkan dengan gagah berani. Perang diselesaikan. Kekuasaan di atas darah dan penderitaan ditegakkan, lalu kita memberinya nama negara. Tetapi Merdeka dalam kisah Putu Wijaya itu harus menerima takdir namanya. Ia tak bisa merubah namanya. Dukun telah menasehati. Nama Merdeka akan terus menjadi beban bagi sang empunya. Beban yang sangat berat. Terjal. Dan dipenuhi kesialan. Siapa pun boleh menamai dirinya Merdeka. Tetapi yang bersedia memakai nama Merdeka, dialah yang harus mempertanggungjawabkannya. Chairil Anwar sepertinya menyadari hal itu dalam puisi "Diponegoro"-nya yang termashur itu.


"Bagimu negeri menyediakan api/Punah di atas menghamba/Binasa di atas ditindas/Sungguhpun dalam ajal baru tercapai/Jika hidup harus merasai," katanya.


Apakah pahlawan itu ada? Ya ada! Kata kawan saya. Ada di dalam anekdot. Pahlawan itu bernama Pahlawan Bejo. Tatkala para pejuang tengah melepaskan lelah di tengah hutan, seorang di antara mereka meninggalkan pasukan. Salah seorang pejuang yang bernama Bejo itu kebelet, ia mencari sungai untuk berak. Ketika ia berak, pasukan musuh menyergap para pejuang. Mereka dihabisi. Selesai berak, Bejo kembali ke pasukannya. Ia terperanjat, semua kawan seperjuangannya mati. Hanya Bejo yang selamat. Ia pulang. Orang-orang lalu mengangkatnya sebagai pahlawan karena kehebatannya selamat dari sergapan musuh sedang kawan-kawannya yang lain gugur sebagai kusuma bangsa. Itulah pahlawan, yang bernama Pahlawan Bejo.



Tembokrejo, 2019


0 Komentar